Rabu, Januari 15, 2025

Kekerasan Pulau Rempang, Rizal Ramli : Contoh Investasi Tidak Sehat

Indonesiadaily.net – Rizal Ramli, seorang tokoh nasional, baru-baru ini angkat bicara mengenai insiden kekerasan di Pulau Rempang, Batam, di Kepulauan Riau yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

Insiden kekerasan tersebut berawal dari ketidaksetujuan masyarakat setempat mengenai rencana penggusuran sejumlah desa di kawasan tersebut. Hal ini dilakukan demi pembangunan kawasan investasi terpadu bernama Rempang Eco City. Menanggapi hal ini, DR Rizal Ramli menekankan pentingnya mengedepankan pendekatan dialog dan musyawarah.

“Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita hentikan terlebih dahulu segala bentuk kekerasan. Kita perlu melakukan evaluasi mendalam mengenai konsesi tanah tersebut. Apabila pembangunan memang dianggap penting, maka harus ada kesepakatan bersama dari seluruh masyarakat. Jika masyarakat menolak, maka pembangunan harus dihentikan,” katanya.

Mantan Menko Perekonomian ini menambahkan, “Investasi memang penting untuk perkembangan ekonomi, namun hak-hak masyarakat tidak boleh diabaikan. Terutama hak adat dan lingkungan. Investasi yang menggunakan kekerasan sebagai sarana pencapaian tujuannya adalah contoh investasi yang tidak sehat.”

Rizal Ramli mengingatkan, perusahaan-perusahaan besar, terutama dari Amerika Serikat, sangat memperhatikan isu hak asasi manusia dalam kegiatan investasinya. Sebagai contoh, konsumen NIKE pernah melakukan protes ketika mengetahui ada pelanggaran hak buruh di salah satu pemasok mereka.

Baca Juga  Rapat Kerja LKD, Nuroji: Lembaga Kebudayaan Perlu Memperkuat Kolaborasi

Menurut beliau, hanya beberapa negara, seperti China, yang mungkin dapat menerima investasi dengan pendekatan kekerasan. Sebaliknya, negara-negara seperti Jepang atau Korea akan menentang metode tersebut karena kepedulian mereka terhadap hak asasi rakyat.

“Model investasi yang menerapkan kekerasan, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, cenderung hanya menarik perhatian investor dari negara seperti China,” kata Rizal Ramli.

Sebagai anggota tim panel penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bersama para ekonom dari berbagai belahan dunia, beliau menegaskan bahwa hak-hak masyarakat atas tanah harus diprioritaskan.

“Sebelum memutuskan investasi, perlu dilakukan studi amdal untuk menilai dampak lingkungan dan sosial budaya. Negosiasi dengan masyarakat harus dijalankan dengan transparan. Jika ada pembebasan tanah, maka harus ada kompensasi yang adil. Jangan sampai menggunakan kekerasan, karena masyarakat Riau dikenal dengan budaya yang santun. Namun, jika ditekan dengan kekerasan, mereka tentu akan mempertahankan hak-hak mereka,” tutupnya.

Awal Konflik

Baca Juga  Ini Penjelasan PJ Kepala Daerah Bisa Mutasi dan Berhentikan ASN

Terletak di sebelah utara Pulau Batam, Pulau Rempang adalah sebuah pulau kecil dengan luas sekitar 2.600 hektar. Dihuni oleh sekitar 7.500 jiwa, pulau ini menjadi saksi bisu sejarah panjang dan peradaban masyarakat Melayu yang telah berlangsung selama berabad-abad. Kehidupan masyarakatnya sangat erat dengan budaya dan tradisi Melayu, membuat pulau ini kaya akan nilai-nilai luhur dan warisan budaya.

Konflik tanah yang tengah memanas di Pulau Rempang, bermula dari rencana penggusuran desa yang sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum. Mulai dari puskesmas, masjid, jalan raya, hingga pelabuhan, semuanya telah berdiri megah dan melayani kebutuhan masyarakat sehari-hari. Selain itu, terdapat juga fasilitas pendidikan yang lengkap, termasuk 10 sekolah dasar, 3 sekolah menengah pertama, dan sebuah sekolah menengah atas.

Rencana yang diajukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) adalah untuk memindahkan warga desa ke Pulau Galang, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Pulau Rempang. Di pulau baru tersebut, pemerintah Indonesia berencana mendirikan pemukiman baru bagi warga yang tergusur. Sementara Pulau Rempang akan diubah menjadi kawasan investasi terpadu bernama Rempang Eco City.

Baca Juga  Walikota Tangerang Minta PDAM TKR Segera Perbaiki Pipa Bocor

Namun, warga Pulau Rempang menilai bahwa rencana penggusuran ini sangat tidak adil. Bagi mereka, tanah di Pulau Rempang bukan hanya sekadar lahan, melainkan warisan turun-temurun yang telah dimiliki sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada abad ke-16, ketika Rempang masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor, pulau ini telah dihuni dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat.

Meskipun BP Batam menyatakan bahwa tanah di Pulau Rempang adalah aset negara dan mereka berhak menggunakannya untuk kepentingan pembangunan, namun warga merasa bahwa hak mereka telah dilanggar. BP Batam memang menawarkan kompensasi kepada warga, namun penawaran tersebut dianggap tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari tanah dan warisan budaya yang dimiliki warga.

Tegangan antara warga dan BP Batam mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2023, ketika warga dengan tegas memblokade jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam. Blokade tersebut merupakan bentuk perlawanan dan protes terhadap rencana penggusuran yang dinilai merugikan masyarakat Pulau Rempang. (*)


Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles

Perumda Tirta Kahuripan

Perumda Tirta Kahuripan

Djarum Foundation

Pemkab Bogor