Senin, Mei 20, 2024

In Memoriam: Hendrik “Iblis” Sirait

Oleh: Rawanda “Binyo” Wandy Tuturoong.

Aktivis FAMI

 

Indonesiadaily.net – Selama perjalanan menuju Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon dari rumah elu di Tanjung Priok hari ini, berbagai pengalaman dan peristiwa selama puluhan tahun terakhir berkelabat.

Gua baru sadar ternyata kita sudah berteman sejak 33 tahun lampau.

Di lokasi pemakaman, sudah ada Mpek (Ferry Haryono Machsus), salah satu teman kita yang paling gila. Elu berdua pantas disebut Dewan Pendiri Tim “Kandurak” (makan, tidur, ber*k) yang legendaris.

Mpek tadi bilang sama gua, “Nyo, banyak yang nggak tahu sejarah kenapa kawan kita ini dipanggil Iblis.”

Jadi sejarahnya begini: Tim Kandurak ini suatu masa sering nongkrong dan nginap di tempatnya Parulian Manulang di daerah Kemuning, Pasar Minggu.

Tetangganya Parulian, anak kecil, menitipkan toples berisi ikan-ikan cupang ke Parulian untuk dijagain. Tapi sama Iblis dan Mpe, ikan cupangnya diadu, sampai mati.

“Dasar Iblis elu,” teriak Parulian begitu tahu kelakuan mereka. Sejak saat itu, panggilan Iblis melekat sama elu.

In Memoriam 2

Di pemakaman juga ada Kaka’ Rachland Nashidik, salah satu senior Pijar yang dulu menitipkan gua ke Tosca Santoso untuk membantu penerbitan majalah-majalah bawah tanahnya AJI tahun 1994, pasca tertangkapnya Ahmad Taufik, Item dan Danang.

Ada juga Andrianto Diem, yang selalu berseberangan pilihan politik sama kita, tapi juga selalu bisa ngopi bareng dan bertukar perspektif tentang perkembangan-perkembangan terkini.

Gua senang melihat kawan-kawan yang datang ke pemakaman elu. Beragam. Itu artinya, elu disayang banyak orang. Kawan dan “lawan”. Tapi, sebenernya semua juga kawan.

Kita sama-sama satu angkatan di FISIP, Unas 1990. Nggak langsung dekat, malah sempat berjarak. Karena sejak semester I gua lebih suka berkumpul sama senior-senior, Adi Lazuardi, Standarkiaa, Taufan dan lain-lain.

Kalian sempat anggap gua “pengkhianat” angkatan. Tapi gua merasa nggak salah, karena gua memang pengen belajar sama senior-senior itu, yang waktu itu keliatan kayak dewa. Bahasanya susah-susah.

Agus Wicahyo punya banyak sekali perbendaharaan bahasa susah. Buat nipu cewek-cewek.

Parulian yang membuat kita bersatu lagi. Juga karena aksi-aksi bersama dengan teman-teman aktivis Bogor.

Baca Juga  Guru Sebagai Suri Tauladan

Bicara tentang aksi, gua ingat elu selalu jadi sasaran empuk tentara untuk dipukulin (gua nulis sambil senyum-senyum; kalau ingat masa demo-demo buat gua selalu jauh dari kesan heroik).

Salah satu demo bareng kita adalah “Golput” di Pengadilan Negeri Semarang untuk mengadvokasi Poltak Ike Wibowo dan Lukas Luwarso tahun 1992.

Elu demo pakai baju kuning berlambang Golkar. Gua rasa kalau gua jadi tentara, gua pasti ikut gebukin elu, Drik.

Yang bikin kita jadi makin dekat, tentunya peristiwa penangkapan 21 Mahasiswa FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia) di gedung DPR-MPR tanggal 14 Desember 1993. Kita dipenjara antara 8 bulan hingga 14 bulan di Rumah Tahanan Salemba waktu itu.

Rombongan 21 Mahasiswa ada Teddy Wibisana, Yeni Rosa Damayanti, Gunardi Aswantoro, Adi Kurniawan, Piryadi, Munasir Huda, Nana Satria, Anthony Ratag, Toni Sinaga, Yunus, Pay Suwito (alm.), Farid (alm.), M. Rifky, Saef Lukman, Sunandar, Andi Sumitro, Andrianto Diem, Masduki, Ferry Mpek, elu dan gua.

Sebetulnya, waktu penangkapan, gua bisa meloloskan diri. Tapi, melihat kalian yang seperti “dizholimi” tentara, dengan semangat 45 gua balik lagi. Setelah sama-sama diangkut truk, baru tau kalau kalian cuma “acting”. Brengsek emang.

Di penjara, elu sempat menikmati rasanya jadi kapitalis kecil. Memonopoli penjualan Indomie di Blok K, karena kedekatan dengan sipir penjara. Orang-orang nggak punya duit, elu malah jadi kaya.

Elu sempat bikin kedai kopi Bhinneka di sekretariat Repdem, sama Masinton Pasaribu. Tapi nggak bertahan lama, meski kopi sidikalangnya enak. Gua rasa elu sudah tahu bahwa bisnis yang cuan memang harus bisa “monopoli”.

Ada bagusnya juga. Karena gua nggak bisa bayangin sih elu jadi pengusaha.

Setelah peristiwa FAMI, tepatnya setelah peristiwa 27 Juli 1996, elu diculik Inteldam Jaya tanggal 1 Agustus. Gua baru tau belakangan, karena gua harus mengungsi ke Jawa Tengah (setelah nyaris “diangkut” di depan Megaria oleh seorang kenalan, yang ternyata intelijen angkatan darat).

Baca Juga  Pengabdian Masyarakat Pemberdayaan Kader Serta Edukasi kepada Ibu Hamil dan Ibu Balita dalam Upaya Pencegahan Stunting pada Balita di Jawa Barat

Mungkin itu satu-satunya penangkapan “nggak lucu” yang elu alami. Sendirian, tanpa teman-teman yang lain. Ditelanjangi dan disiksa.

Saat elu bebas, elu minta ditemani kalau jalan keluar. Setiap kali melihat orang berperut buncit dan berambut cepak, badan elu gemetar. “Nyo kita diikutin, itu di belakang kita.” Traumatik.

Akhirnya karena kebaikan teman-teman PPI di Jerman dan Belanda, elu diminta untuk terbang ke sana untuk “melepaskan diri dari atmosfir politik Jakarta”. Ketemu Yeni, yang masih buron di sana.

Gua ingat, elu cerita waktu pertama naik pesawat sama pramugari ditawarin: “Would you like a cup of coffee or tea, Sir?” Trus, elu jawab dengan “pede”: “Yes, I am a student.”

Si Pramugari sambil angkat tekonya, balik ngomong ke elu dengan kencang, “coffee or tea…?”

Sebagai Kandurak, elu memang suka bikin kejutan. Jadi ketua PBHI Jakarta lah, jadi wartawan JakNews dan bikin acara “Kongkow bareng Gus Dur” lah. Pekerjaan-pekerjaan yang kurang cocok buat orang yang nggak suka bangun pagi.

Kalau pekerjaan advokasi sih, nggak heran gua. Komitmen elu selalu 100 persen.

Yang masih misteri buat gua, elu ternyata bisa pacaran. Hehehe. Gua nggak pernah tanya bagaimana caranya. Tapi, kayaknya elu lebih bisa cerita sama Fay, istri gua.

Soalnya, anak-anak Unas jarang yang amanah sama rahasia. Yang ada malah disebarluaskan dan dibumbu-bumbui peristiwa yang memalukan. Ya, itu salah elu juga sama Tim Kandurak.

Yang orang-orang nggak banyak tahu, mungkin, di balik sikap elu yang konyol dan kadang-kadang keras, elu sangat sentimentil.

Waktu, kedua orang tua elu sudah nggak ada, di RSCM elu bilang: “Elu enak Nyo, masih punya orang tua. Gua sekarang yatim-piatu.” Sebenarnya gua mau ketawa, tapi elu lagi nangis. Gua kan tau elu orang yang tangguh… tapi ya itu, sentimentil.

Tahun 2013 menjelang Pilpres, elu telpon dan ngajak ketemu. “Nyo, kita harus terlibat nih bikin relawan. Jokowi orang baik.”

Gua setuju, apalagi waktu itu gua sudah diminta alm. Mas Prakosa untuk terlibat dalam Tim Visi-Misi Presiden PDI-Perjuangan (yang kemudian dikenal dengan Tim Nawacita).

Baca Juga  Cuti Bersama vs Etos Kerja

Gua usul nama organ relawannya: “Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat. Keren kan?”

“Iya bagus tuh,” kata elu.

Jadi, kata gua, singkatannya “ALMASIH”. Wuahahaha.

“Wah, jangan dong,” elu protes.

“Tenang, tenang. Gua punya singkatan lebih bagus: ALMISBAT.”

“Nah, itu baru cakep.”

Karena keterlibatan di Almisbat, elu kemudian mendapatkan posisi sebagai komisaris di PT PGN LNG. Keren banget. Sementara gua diajak Mas Eko Sulistyo bergabung di Kantor Staf Presiden.

Sejak elu jadi komisaris, gua sudah nggak pernah lagi traktir elu. Gajinya kan gedean elu. Hehehe. Tapi, gua tau tanggungan elu banyak. Ponakan-ponakan yang sudah elu anggap anak sendiri… dan banyak lagi yang gua juga baru tahunya belakangan.

Sekarang ponakan-ponakan sudah kuliah di Undip, ITB, dll. Gua ikut bangga sama elu. Anak-anak gua juga sudah kerja. Dari perspektif itu, gua rasa kita sama-sama cukup “berhasil” lah ya.

Puluhan tahun lalu, waktu masih era Orde Baru, kita rasanya nggak pernah mikirin hal ini ya. Mengalir aja. Hidup seperti petualangan.

Waktu elu sakit, setiap kali mau kemo elu WA dan minta didoakan. Ada masa-masa kita sangat optimis, tapi ada masa-masa gua merasa sedih kalau elu harus lama menderita. Doa gua, Tuhan memberikan elu yang terbaik.

Terakhir, waktu elu masih bisa bicara, yang elu omongin malah Almisbat. “Bantu urusin ya, Nyo.” Setelah pertemuan berikut, elu hanya bergumam dan berkomunikasi dengan mata.

Gua senang dengar cerita Kak Nelly, elu pergi dengan tenang. Mengingatkan gua sama orang tua gua. Orang-orang baik, pergi dengan cara seperti itu, Drik.

Hari ini, setelah pemakaman, gua baru merasa kehilangan elu. Gua bangga punya sahabat seperti elu. Sampai ketemu lagi di perjalanan berikutnya.

Jakarta, 13 Mei 2023

(Gua baru sadar TPU Pondok Rangon adalah tempat pemakaman massal korban kerusahan Mei 1998, 25 tahun lalu… elu memang sentimentil, minta dimakamkan di situ)


Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles