Indonesiadaily.net – Pahlawan wanita Indonesia memiliki peran yang tidak kalah penting dalam perjuangan. Tanpa jasa mereka, mungkin tidak akan ada Indonesia yang seperti seperti sekarang.
Pahlawan wanita Indonesia yang pemberani ini datang dari seluruh penjuru tanah air.
Siapa saja mereka? Berikut ini Pahlawan Wanita Indonesia yang harus kamu ketahui:
1. Laksamana Malahayati
Laksamana Malahayati merupakan salah satu pahlawan wanita dari Aceh pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Beliau lahir di Aceh besar, pada tahun 1550.
Laksamana Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah, cucu Laksamana Said Syah, dan cicit dari Sultan Aceh Salahudin Syah yang berkuasa pada tahun 1530 hingga 1539.
Dari silsilahnya, Malahayati mewarisi semangat wira samudra, yang mana dia terlibat aktif dalam pertempuran Teluk Haru melawan armada laut Portugis. Pertempuran tersebut menewaskan suaminya. Namun dia tidak larut dalam kesedihan, bahkan bangkit membentuk pasukan Inong Balee yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam perang.
Dalam Inong Balee ini, Malahayati diangkat sebagai laksamana, sekaligus menjadikannya wanita Aceh pertama yang menyandang pangkat laksamana.
Pada tanggal 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati memimpin pasukan laut Kesultanan Aceh melawan Belanda yang memaksakan kehendak dalam berdagang dengan Aceh.
Sejarah mencatat, peperangan ini menewaskan Cornelis De Houtman, seorang pelaut Belanda yang menemukan jalur menuju Indonesia.
Laksamana Malahayati meninggal dunia tahun 1615, ketika ia berusia 65 tahun. Makamnya saat ini ada di Desa Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar.
Laksamana Malahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/2017 pada tanggal 6 November 2017.
2. R.A. Kartini
Nama R.A Kartini mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kalian. Hari lahirnya bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional.
Perjuangannya untuk menyetarakan derajat perempuan, membuat namanya akan selalu dikenang.
Menurut Jurnal Seuneubok Lada 2(1), Raden Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1897. Kartini lahir dari keluarga ningrat, ayahnya seorang bupati, sedangkan ibunya merupakan priyayi yang dihormati.
Sebagai perempuan yang lahir dari keluarga terpelajar, Kartini mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berkenalan dengan banyak perempuan Eropa.
Kartini kagum dengan cara berpikir para perempuan Eropa. Berawal dari sanalah R.A. Kartini berkeinginan memajukan perempuan pribumi, yang mana ketika itu berada pada status sosial yang rendah.
Kartini kemudian berjuang agar status sosial perempuan Indonesia bisa setara dengan kaum laki-laki masa itu. Berkat perjuangannya tersebut, R.A. Kartini disebut sebagai pahlawan emansipasi wanita.
Dia juga menjadi pahlawan kemerdekaan nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 yang dikeluarkan pada 2 Mei 1964.
3. Dewi Sartika
Pahlawan wanita Indonesia berikutnya yaitu Dewi Sartika. Beliau merupakan pahlawan pendidikan dari tanah Sunda.
Dia merupakan anak dari Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara yang lahir pada tanggal 4 Desember 1884.
Sebagai anak seorang yang terpandang, Dewi Sartika mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki anak perempuan lain pada masa itu.
Dewi Sartika merupakan seorang perempuan yang cerdas serta kritis. Kecerdasannya tak membuatnya menjadi sombong. Ia bahkan dengan ikhlas membagikan ilmu yang dimilikinya kepada anak gadis di sekitarnya.
Kabar bahwa Dewi Sartika membuka kegiatan belajar mengajar kemudian terdengar sampai ke telinga pemerintah. Hingga pada akhirnya dia diberikan izin untuk mendirikan Sekolah Istri yang menjadi tempatnya berbagi ilmu.
4. Cut Nyak Dhien
Salah satu pahlawan wanita Indonesia dari Aceh yang terkenal yakni Cut Nyak Dhien. Dia lahir pada tahun 1848 di kampung Lampadang, Aceh Besar.
Sebagai seorang dari keturunan bangsawan, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat kepahlawanan yang diturunkan dari sang ayah yang juga berjuang dalam perang Aceh melawan kolonial Belanda.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim. Dia merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, seorang perantau dari Minangkabau. Cut Nyak Dhien dikenal sebagai pejuang yang tangguh dan mampu menghidupkan semangat teman seperjuangan dan pengikutnya.
Hingga menginjak usia senja, Cut Nyak Dhien dan pengikutnya terus bergerilya serta menolak untuk menyerah.
Pada 7 November 1905, Cut Nyak Dhien ditangkap oleh Pang Laot yang telah membuat perjanjian dengan Belanda. Setelah ditangkap dia kemudian diasingkan ke Sumedang.
Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 di tempat pengasingannya. Cut Nyak Dhien secara resmi dinobatkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/TK/1964 tanggal 2 Mei 1964.
5. Martha Christina Tiahahu
Martha merupakan pejuang perempuan dari Maluku yang wafat pada usia 17 tahun. Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa Laut pada tanggal 4 Januari 1800 dan meninggal di Laut Banda pada tanggal 2 Januari 1818.
Martha Christina Tiahahu seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusa Laut, putri dari Kapitan Paulus Tiahahu dari negeri Abubu, seorang pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura pada 1817.
Martha Christina Tiahahu mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran dan memberi semangat kepada kaum perempuan di seluruh negeri untuk ikut berjuang.
Saat ayahnya ditangkap dan mendapatkan vonis hukuman tembak, Martha Christina Tiahahu berusaha membebaskan ayahnya, namun gagal.
Dia memilih bergerilya dan tertangkap hingga menemui ajal di Kapal Perang Eversten. Jasadnya diluncurkan ke Laut Banda dengan penghormatan militer.
Martha Christina Tiahahu mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Maluku pada 20 Mei 1969 melalui SK Presiden RI No. 012/TK/Th 1969.
6. Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia atau yang dikenal dengan Cut Meutia lahir di Keureuto, Aceh Utara, pada 15 Februari 1870.
Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak dan ibunya bernama Cut Jah. Cut Meutia merupakan anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Saat memasuki usia dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif.
Namun, pernikahan tersebut tak bertahan lama. Cut Meutia akhirnya membangun rumah tangga bersama Teuku Chik Tunong.
Keduanya berjuang bersama menjalankan siasat perang gerilya dan spionase yang diawali pada tahun 1901.
Setelah Cik Tunong dijatuhkan hukuman tembak mati oleh Belanda, Cut Meutia tetap melanjutkan perjuangan bersama Pang Nanggroe hingga 25 September 1910. Setelah wafatnya Pang Nanggroe pun, Cut Meutia tetap melakukan perlawanan bersenjata.
Cut Meutia akhirnya gugur di medan perang pada 24 Oktober 1910 ketika berusia 40 tahun. Cut Meutia kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
7. Nyi Ageng Serang
Pastinya kalian pernah mendengar Perang Diponegoro. Dibalik peristiwa penting tersebut, terdapat seorang pahlawan wanita yang gagah berani berpartisipasi dalam perang tersebut. Ia adalah Nyi Ageng Serang.
Kisahnya dituliskan dalam sebuah buku berjudul “Nyi Ageng Serang”. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa beliau merupakan pejuang wanita yang berjiwa nasionalis.
Nyi Ageng Serang berjuang tanpa kenal lelah. Sama halnya dengan pejuang kemerdekaan lainnya, Ia bertekad untuk mengusir penjajah.
Ia berjuang karena merasa prihatin melihat rakyat yang disayanginya dikuasai oleh bangsa lain dan dipekerjakan paksa.
8. Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah)
Nyai Ahmad Dahlan merupakan tokoh Emansipasi Perempuan dan tokoh Pembaharu Islam, serta Pendiri dan Pemimpin Aisyiyah. Ia pernah berpartisipasi dalam diskusi perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.
Beliau lahir dengan nama Siti Walidah dan merupakan istri dari pendiri Muhammadiyah sekaligus seorang pahlawan nasional bernama KH Ahmad Dahlan.
Walidah menyertai perjuangan suaminya dalam suka dan duka. Ia memprakarsai berdirinya perkumpulan “Sopo Tresno” pada 1914 untuk wanita Islam, yang mementingkan 3 bidang yaitu dakwah, pendidikan, dan sosial.
Sopo Tresno kemudian dilebur menjadi “Aisiyah” di tahun 1917, Aisiyah menjadi bagian wanita dari Muhammadiyah. Aisiyah berkembang, kemudian menyusul berdirinya perkumpulan untuk remaja putri islam dengan nama “Nasyiatul Aisiyah”.
Dalam bidang sosial, Aisiyah mendirikan badan-badan yatim-piatu, fakir miskin, pemberantasan buta huruf, dan lain sebagainya. Ia juga mendirikan asrama puteri yang diselenggarakan di rumahnya, ia memberikan pendidikan keimanan, praktek ibadah, sampai berlatih pidato, dan dakwah.
Nyai Ahmad Dahlan terus melakukan perjuangannya bahkan setelah suaminya meninggal, ia membina generasi muda terutama perempuan islam agar tekun, gigih, dan berpendidikan.
Ia juga turut serta secara aktif dalam memberikan bantuan mengirim perbekalan kepada istri prajurit dan para prajurit yang sedang berjuang di wilayah pertempuran.
9. Maria Walanda Maramis
Maria Walanda Maramis merupakan pahlawan wanita Indonesia dari Minahasa yang mendapat julukan sebagai Kartini dari Minahasa.
Hal ini dikarenakan, pahlawan wanita yang lahir pada tanggal 1 Desember 1872 ini berupaya membebaskan perempuan dari keterbelakangan pendidikan.
Maria sempat bersekolah di Sekolah Melayu di Maumbi, Minahasa Utara, selama tiga tahun dan tak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Akhirnya, Maria mendirikan organisasi bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.
Lewat PIKAT, kaum perempuan dibekali ilmu untuk berumah tangga, seperti memasak, menjahit, merawat bayi, dan lainnya. Maria terus aktif di PIKAT hingga Ia tutup usia pada tanggal 22 April 1924.
10. Rohana Kuddus
Rohana Kuddus merupakan salah satu pahlawan wanita Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Beliau juga dikenal sebagai seorang jurnalis perempuan.
Rohana Kuddus lahir di Koto Gadang Agam, Sumatera Barat, dan meninggal 16 Desember 1972 di Jakarta pada usia 88 tahun.
Rohana adalah seorang tokoh pendidik sekaligus tokoh pers pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan lewat media cetak melalui koran Soenting Melajoe yang terbit tahun 1912.
Dia memperjuangkan Pendidikan bagi kaum perempuan di Minangkabau dengan mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) dan “Roehana School”. Rohana Kuddus berhasil menyebarkan pengetahuannya seperti yang selama ini diimpikannya lewat surat kabar.
11. Andi Depu
Andi Depu memiliki nama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa. Beliau merupakan pejuang wanita asal Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia dikenal karena berhasil mempertahankan wilayahnya dari penaklukan Belanda.
Bahkan, Andi Depu berani mengibarkan bendera Merah Putih saat pasukan Jepang datang ke Mandar pada tahun 1942.
Atas keberaniannya, Andi Depu dianugerahi Bintang Mahaputra Tingkat IV dari Presiden Soekarno. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada Andi Depu dan 5 tokoh bangsa lainnya.
Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123/TK/Tahun 2018 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
12. Rangkayo Rasuna Said
Pahlawan wanita Indonesia berikutnya adalah Rangkayo Rasuna Said.
Berdasarkan buku 7 Tokoh Nasional Sumatera Barat di Bidang Pendidikan dan Pers, Rasuna Said lahir di Desa Panyinggahan Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 14 September 1910. Dia merupakan putri dari seorang aktivis pergerakan dan pengusaha di Sumatera Barat.
Sebagai anak dari keluarga terpandang, Rasuna Said mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dengan baik.
Berbekal pendidikan yang dimilikinya, Rasuna Said tergerak untuk berjuang dalam bidang pendidikan. Dia pernah menjadi pengajar di Sekolah Diniah Putri dan turut memberikan pendidikan politik kepada murid-muridnya.
Tak hanya itu, Rasuna juga membuka Kursus Pemberantasan Buta Huruf dengan nama, Sekolah Menyesal.
Setelah itu, Rasuna Said membuka Sekolah Thawalib di Padang, mengajar di Sekolah Thawalib Puteri, dan menjadi pemimpin di Kursus Putri dan Kursus Normal di Bukittinggi.
Perjuangan lainnya yang dilakukan Rasuna yakni di bidang politik. Dia pernah tergabung dalam organisasi Sarekat Rakyat dan Persatuan Muslimin Indonesia.
Keberaniannya dalam berpendapat melalui sebuah pidato, membuatnya pernah merasakan kehidupan di penjara selama satu tahun dua bulan di Semarang.
Keikutsertaannya dalam organisasi juga masih berlanjut hingga masa penjajahan Jepang. Bahkan, setelah Indonesia merdeka, Rasuna turut aktif di parlemen sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
13. Fatimah Siti Hartinah Soeharto
Fatimah Siti Hartinah Soeharto atau Tien Soeharto lahir pada tanggal 23 Agustus 1923 di Desa Jaten, Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Beliau juga memiliki sapaan akrab yaitu Ibu Tien.
Fatimah Siti Hartinah Soeharto pernah menjabat berbagai posisi kenegaraan seperti Ketua Umum Ria Pembangunan, Penasehat Utama Dharma Wanita, Penasehat Utama Dharma Pertiwi, Penasehat Utama Persit Kartika Chandra Kirana, Penasehat Utama Persatuan Istri Veteran RI (PIVERI), Pendiri/Ketua Yayasan Kartika Jaya, Pelindung Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Pelindung Yayasan Kartini, Pelindung Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda (HIPRADA), Pelindung Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), dan Pelindung Yayasan Jantung Indonesia.
Ibu Tien telah aktif di bidang keorganisasian sejak remaja dengan aktif di dalam Kepanduan (Pramuka). Pada masa pendudukan Jepang, dirinya pernah menjadi anggota Fujinkai.
Ibu Tien merupakan orang yang memprakarsai pendirian Perpustakaan Nasional sebagai upaya peningkatan minat baca generasi penerus bangsa.
Ibu Tien juga memprakarsai pembangunan Taman Bunga, Taman Anggrek serta Taman Buah sebagai wujud perhatiannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani khususnya petani bunga dan buah-buahan. (*)
Editor : Pebri Mulya