Oleh Eko S Dananjaya
Lebaran segera tiba. Sebagian umat Islam di Ibu kota bergegas menyiapkan bekal perjalanan pulang kampung. Ada pula yang sudah sampai tujuan. Ritualitas aktual tahunan yang selalu dijalankan setiap Jelang Idul Fitri. Ada yang lebaran di Jakata, ada juga yang mudik. Perjalanan religi itu seperti setangkai perjuangan. Yang bukan saja dimaknai saat kita khusyuk menjalankan ibadah dalam nuansa Idul Fitri. Melainkan seorang ibu di pagi hari pergi kepasar. Belanja ketupat persiapan untuk anak-anaknya yang esok hari mudik ke kampung halaman. Menyiapkan bahan makanan yang nantinya akan dimasak dan disuguhkan pada sanak famili, saat Idul Fitri hadir menjadi instrumen keakraban keluarga.
Makna Ibu berpeluh dan meluangkan waktu adalah cerita sebuah perjuangan kasih sayang pada anak- anak dan cucunya. Itulah sejatinya makna kefitrian yang hakekatnya merupakan bentuk dari kesucian hati seorang ibu. Kesibukan Ibu ketika menghidangkan kue lebaran dan buah- buahan. Membagikan ketupat beserta opor yang memiliki arti penting dalam tradisi hari raya umat Islam. Demikian pula seorang suami bekerja untuk mendapatkan rejeki. Semua akan bermuara pada keutamaan, yakni meraih kebahagian dan saling berlomba dalam kebaikan (Fastabiqul khairat). Idul Fitri bukan saja dipandang sebagai hari kemenangan umat Islam. Ketika umat Islam menjalankan ibadah sholat di tempat terbuka, dua rakaat dan diikuti kotbah yang dipimpin seorang Imam. Esensi Idul Fitri dapat juga kita maknai sebagai konsolidasi iman setiap manusia pada manusia lain. Dengan merujuk hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal alam. Senyatanya, keimanan itu tidak lain adalah kenyamanan hati dan percaya adanya sang pencipta. Berpasrah kepada dzat yang maha Agung ( Al Adzim). Yakni Iman kepada Tuhan. Menjauhkan diri dari sifat maksiat dan siksa dunia akherat. Tuhan berpesan kepada mahkluknya, bahwa Ia telah menjanjikan yang terbaik . Dan semua itu tertulis di dalam kitab suci. Tuhan, Allah SWT, selalu menepati janji sebagaimana yang ada di dalam surat Al Luqman ayat 33 . Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah suatu hari yang ( pada hari itu ) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat ( pula ) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali- kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan ( pula ) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.
Jelas, bahwa Tuhan telah memberi peringatan kepada manusia melalui kitab suci Alquran. Hendaknya kita jangan tertipu daya oleh kemaksiatan berpikir, kemaksiatan napsu diri untuk mengejar duniawi. Sehingga manusia tidak di jadikan budak ekonomi, budak politik, budak hukum, budak kesombongan, keangkuhan diri, budak kesesatan dan keangkaramurkaan. Karena sejatinya hidup itu tidak lebih dari tarikan nafas pertama dan pelepasan molekul oksigen yang terakhir. Sedemikian pendek dan singkatnya usia dalam hidup. Manusia akan mati. Dan di ganti generasi selanjutnya. Setiap kehidupan mempunyai fase yang berbeda. Yang kekal adalah waktu dan Iman. Setiap fase manusia akan diuji keimanannya sesuai fase jaman dan peradabannya. Jaman Nabi hingga hari ini. Membutuhkan waktu panjang untuk dapat mengawal kitab suci Alquran, agar tetap murni dan terpelihara. Iman kepada Allah SWT, Iman kepada Kitab suci, iman kepada ajaran nabi Muhmmad SAW. Yang semestinya orang beriman akan terus menjaga agar Alquran tidak diselewengkan oleh manusia syirik. Perjuangan menuju keimanan dan memegang teguh ajaran Nabi Muhammad secara benar itu tidaklah mudah, dan tentu saja penuh tantangan. Mengapa?
Karena pola pikir manusia terus berkembang. Dan kehidupan serta filosofi manusia ikut pula dalam perkembangan tersebut, sesuai jaman yang mereka hadapi. Islam hadir di muka bumi telah masuk pada fase 1445 Hijiriah. Waktu yang cukup panjang dimana Alquran menjadi way of life umat Islam. Jika kehidupan usia manusia di ambil kematiannya rata- rata usia 70 tahun. Maka dalam proses generasi sejak Nabi Muhammad hingga hari ini sudah masuk pada generasi yang ke 20. Fase dari generasi satu ke generasi berikutnya akan mengalami proses dialektika dan dinamika sesuai kapasitas nalar manusia dan teknologi yang mereka jalani. Nalar manusia dalam ilmu moderen dijadikan tolok ukur kemajuan peradaban sebuah bangsa. Dan peradaban itu seyogyanya sejalan dengan ajaran Islam. Peradaban tradisi pulang kampung menjadi rutinitas tahunan, ketika hari raya Idul Fitri dan mudik hadir dan diyakini sebagai pembasuh dosa.
Mudik menjadi peradaban yang terus menerus. Ketika teknologi informasi dan transportasi gampang di akses. Bagi yang memiliki kendaraan pribadi akan pulang bersama keluarga ke kampung halaman. Menengok orang tua, bagi yang masih memilikinya. Dan akan melakukan silaturahim kepada sanak famili dikampung halaman. Menyambangi makam orang tua atau saudara untuk memohonkan doa ampunan kepada Tuhan. Menjalankan transendental
hubungan yang bersifat multilateral antara Tuhan, arwah dan orang yang mendoakan. Bahkan tidak sedikit dalam doa tersebut terselipkan bisikan kalimat yang sangat personal. Mengambarkan bahwa kedatangannya kini memberikan sesuatu yang positif. Selain memohon doa kepada Allah SWT. Juga memberitahu bahwa kehidupannya sekarang telah berubah dan menjadi lebih baik. Sesuatu yang sangat manusiawi ketika capaian dalam hidupnya diraihnya dengan ukuran sukses secara materi, jabatan, pendidikan, tatkala orang yang dicintai telah tiada.
Itulah makna dialog antara yang masih hidup dengan yang sudah tiada. Rasa batin menjadi longgar. Seperti rongga nafas ini terisi oksigen baru. Perasaan kita menjadi lega dan tidak pudar. Hati yang paling dalam mengungkapkan, bahwa spiritualisme itu nyata ketika semua sudah di pasrahkan dengan iklas kepada yang maha kuasa. Batin kitapun turut mengatakan, bahwa almarhum – almarhumah merasa bahagia berada di alam baka. Pesan syurga yang sudah sekian lama tertunda itu kini telah dibisikan melalui doa khusuk kita di hadapan arwah orang tua atau saudara. Sekian lama dan jauh dari jarak yang kita tempuh. Telah lama doa itu tersimpan di dalam hati untuk kita sampaikan langsung di haribaan tempat leluhur kita dalam dialog spiritualitik kepada yang sudah tiada.
Kita pada akhirnya paham, bahwa kematian itu sejatinya adalah kehidupan baru yang mana ruang dan dimensinya berada di tempat lain. Kita kemudian sadar, bahwa kematian itu sepastinya akan menggilir kita sesuai jadwal waktu yang sudah ditetapkan di alam mahfudz.
Tapi apakah dalam hidup kita senantiasa sadar dan dapat memelihara dengan baik ajaran agama yang kita jadikan pedoman itu dengan penuh keimanan?
Semua berpulang pada keyakinan manusianya. Karena kesadaran hati dan ketetapan dalam berpikir setiap manusia itu berbeda.
Alquran dan hadis Nabi akan berjalan seiring. Karena ajaran kitab suci yang diajarkan oleh Nabi Muhammad semua adalah kebenaran. Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita soal etika, adab, moral agar kita menjadi manusia yang saleh.
Tapi dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Ada juga yang ” Melampaui batas kewajaran”. Tidak selalu ajaran kebaikan Nabi di ikuti dengan benar. Melainkan di distorted menjadi ajaran yang direkayasa untuk kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan eksistensi.
Maka muncul beragam paham baru di berbagai kesempatan waktu. Akibat manusia terlampau mengedepankan rekayasa berpikir, mengagungkan kecerdasan. Maka ketaatan atau keimanan yang bertumpu pada cara berpikir sesat bisa mengakibatkan kerusakan dalam berkeyakinan. Yang kemudian mengarah pada penyesatan.
Tidak semestinya hari raya Idul Fitri dijadikan alat untuk mengeksploitasi keyakinan seseorang. Karena sejak jaman Nabi Muhammad, Idul Fitri di tentukan dengan perhitungan Hilal. Kalender hijriah 1445 / 2024. Yang dikeluarkan oleh kementerian agama. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan persatuan Islam ( Persis ). Menunjukkan 1 Syawal 1445 H, jatuh pada hari rabu 10 April 2024.
Hanya saja ada saudara muslim kita yang jauh hari sudah menjalani sholat Idul Fitri pada hari Jumat 5 April 2024. Mereka meyakini bahwa di hari itu “Tuhan telah mengijinkan kepada seorang ketia jamaah untuk menjalani ibadah sholat Idul Fitri”. Jamaah yang di ketuai oleh Raden Ibnu Hajar Saleh Pranolo alias mbah Benu. Iman jamaah Aolia desa panggang Gunung Kidul Yogyakarta.
Sosok mbah Benu menjadi tenar seketika saat memimpin sholat Idul Fitri jauh dari ketetapan Majelis Ulama Indonesia mengambil keputusan tgl 10 April 2024.
Fenomena mbah Benu atau paham yang serupa. Dalam teori post truth dimana salah satu faktor menjadi katalisator berkembangnya paham diluar paradigma standar. Yang dapat menjelaskan fenomena seperti itu didasari atas kehadiran teknologi informasi yang pesat dan berimplikasi pemanfaatan media sosial yang tidak tepat. Teknologi digital telah mampu merealitas sendiri, sesuai dengan agenda seting kelompok.
Terori post truth atau pasca kebenaran, digunakan secara luas untuk mendefinisikan cara masyarakat moderen mengonsumsi dan menyikapi informasi. Menurut kamus Oxford. Post truth adalah kata sifat yang didefinisikan sebagai “berkaitan dengan atau menunjukan keadaan dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi. (Kompas. com 9Januari 22).
Kebenaran bukan menurut fakta tapi kebenaran menurut asumsi. Hidup dalam kemodernitasan ini penuh dengan rekayasa berpikir. Sehingga kebenaran kadang tidak lagi menjadi absolutisme tetapi prakmatisme. Fenomena mbah Benu dengan jamaah Aolia ini bukan kali ini saja terjadi. Tapi ada fenomena keyakinan sebagain kecil kelompok umat Islam yang mempunyai paham bahwa “menjalankan ibadah sholat Idul Fitri lebih duluan itu adalah perintah Tuhan”. Oleh sebab itu, Nabi telah merasa bahwa ke depan setelah sepeninggalnya. Akan terdapat beberapa golongan dari pengikutnya yang memiliki perbedaan mazhab. Oleh sebab itu nabi Muhammad berpesan bahwa ” Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata : ” Rasullulah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam telah bersabda”. Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71, atau 72 golongan. Kaum Nasrani akan terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. ( Hr Tirmidzi . Detik news 24 juni 2021).
Maka tidak heran jika di era serba canggih ini ada sekelompok kecil yang membangun Mazhab baru bahwa menjalankan ibadah Idul Fitri tidak dengan rukyatul hilal tapi cukup menelpon Tuhan dengan saluran seluler. Barangkali penganut semacam itu dapat di sebut sebagai penganut paham post truth bukan lagi pada kaidah agama yang harus kita jaga kesahihannya. Itulah sepenggal pesan mbah Benu kepada jamaahnya.
Selamat berlebaran dan hari raya Idul Fitri.
Penulis adalah pekerja sosial. Tinggal di Bantul Yogyakarta.