Indonesiadaily.net – Adanya kebijakan tv digital dengan menggunakan STB (Set Top Box) menurut Aktivis Pro Demokrasi 98, Teddy Wibisana menimbulkan persoalan baru. Hal itu karena saat ini terjadi kelangkaan alat untuk menunjang siaran digital tersebut.
Dia mengatakan, adanya kondisi langkanya STB disebabkan oleh kebijakan digitalisasi yang hanya berfikir soal perpindahan dari analog ke digital, bukan soal kepentingan masyarakatnya. Walaupun kebijakan itu menguntungkan masyarakat, tetapi persiapan agar masyarakat untuk dapat mengakses siaran tv digital, tidak baik.
“Upaya menuju digitalisasi penyiaran tv free to air bukanlah upaya yang tiba-tiba. Kominfo sudah menyatakan bahwa sejak akhir 2012, infrastruktur TV Digital secara bertahap sudah dibangun dan dioperasikan oleh penyelenggara tv swasta di Jawa dan Kepulauan Riau. Jadi ini bukan semata soal sosialisasi,” ujarnya, Kamis (10/11/2022).
Teddy menambahkan, pembangunan infrastruktur penyiaran digital saat itu dilakukan untuk merespon Keputusan Menteri Kominfo No. 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012, tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air).
Dan menurutnya, sudah seharusnya soal kebutuhan STB juga disiapkan, karena tanpa STB pemilik pesawat TV analog tidak bisa menikmati siaran digital.
“Tetapi mengapa masalah kelangkaan STB bisa terjadi? Apakah karena tidak adanya sosialisasi dan persiapan yang dilakukan oleh pemerintah ? ” tandas Teddy.
Memang upaya digitalisasi penyiaran tv free to air bukanlah upaya yang tiba-tiba. Kominfo dalam websitenya menyatakan bahwa sejak akhir 2012, infrastruktur TV Digital secara bertahap sudah dibangun dan dioperasikan oleh penyelenggara tv swasta di Jawa dan Kepulauan Riau.
Konten siaran dalam format digital sudah dapat dinikmati masyarakat di wilayah ini, karena sinyal analog dan digital dipancarkan secara bersamaan. Dan daerah lain kemudian menyusul secara bertahap.
Pembangunan infrastruktur penyiaran digital tersebut dilakukan, merespon Keputusan Menteri Kominfo No. 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012, tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air).
“Jelas lah transisi ke arah digitalisasi siaran tv sudah berjalan selama 10 tahun. Kebijakan itu bagus, tapi implementasinya juga harus bagus. Kesiapan penyelenggara penyiaran tv penting, tapi kemudahan masyarakat untuk mengaksesnya juga penting. Itu namanya kebijakan yang pro rakyat,” tegas Teddy.
Teddy menguraikan pentingnya migrasi dari analog ke digital. Menurutnya, digitalisasi adalah sebuah tuntutan jaman. Indonesia bahkan tertinggal dengan negara-negara lain di ASEAN dalam digitalisasi.
Digitalisasi membawa dampak positif bagi masyarakat dan lembaga penyiaran (swasta dan publik). Masyarakat akan memperoleh siaran dengan kualitas digital (lebih jernih dan tajam). Selain itu frekuensi sebagai ruang publik yang terbatas dengan adanya digitalisasi akan semakin efisien, karena 1 rentang frekuensi analog dapat diisi 12 rentang digital. Energi untuk menyebarluaskan program lebih efisien.
“Efisiensi rentang frekuensi itu dapat diisi oleh ijin frekuensi penyiaran baru dan internet secara lebih terbuka. Dan ini akan mendorong kesempatan perekonomian digital lebih luas lagi,” urai Teddy yang juga menjadi salah satu pengelola KBR 68H.
Karena digitalisasi juga menguntungkan lembaga penyiaran dan mendorong ekonomi digital, maka soal kelangkaan STB menurutnya, sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah dan lembaga penyiaran swasta.
“Pemerintah dan lembaga penyiaran kalau perlu menyediakan STB secara gratis bagi seluruh masyarakat, bukan hanya menyediakan secara terbatas. Dan masyarakat juga dipermudah untuk dapat memperolehnya. Kan bisa dibagikan melalui organisasi masyarakat yang ada seperti Desa/Kelurahan sampai RT/RW. Apalagi kita sudah ada NIK,” ujarnya lagi.
Teddy mengingatkan, soal migrasi dari analog ke digital akan menimbulkan masalah baru, dimana adanya frekuensi kosong yang diperuntukan untuk izin penyiaran tv yang baru, jika tidak transparan, hanya akan diberikan bagi pemain-pemain lama. Dan ini menurutnya, akan melenggangkan praktek oligopoli di industri penyiaran tv, karena industri penyiaran tv semakin besar tapi pemainnya tidak bertambah.
“Jadi jelas ya, kebijakan digitalisasi bukan hanya soal infrastruktur saja, juga soal kebaikan-kebaikan yang dapat diperoleh masyarakat. Kebijakan digitalisasi juga bukan hanya menguntungkan lembaga penyiarannya lama saja, tapi membuka peluang bagi siapa saja yang memiliki ide kreatif dalam program penyiaran, sehingga masyarakat akan memperoleh program-program tv yang beragam,” jelasnya.
Untuk itu tambahnya lagi, regulator yang mengurus penyiaran (Kominfo), harus dipimpin oleh orang yang mengerti tentang kebijakan publik yang pro rakyat. Bukan menteri yang memiliki konflik kepentingan dengan lembaga penyiaran.
“Ya jangan seperti sekarang ini, menterinya terkait dengan Partai Nasdem, yang ketumnya pemilik tv berita. Apalagi kalau kemudian dia kemudian diganti oleh figur lain yang mungkin tidak terkait dengan industri tv, tapi kemudian dia dapat diatur oleh para pemilik industri itu, ya parah juga. Ganti dengan yang memiliki integritas dan paham implementasi kebijakan yang pro rakyat,” pungkasnya.(*)
Editor: Nur Komalasari