Indonesiadaily.net – Pritttt…Prittt…Prittt bunyi peluit dari wasit Sance Lawita tanda pertandingan final antara Borneo FC melawan Arema FC telah usai. Pada pertandingan kali ini berhasil dimenangkan oleh Arema FC setelah berhasil mengandaskan lawannya melalui drama adu penalti. Kemenangan ini sekaligus menjadikan klub asal Malang tersebut sebagai juara pada kompetisi pra-musim Piala Presiden 2024.
Tentunya hasil ini merupakan kabar baik bagi ‘sebagian’ pendukung klub berjuluk singo edan tersebut. Apalagi gelar ini merupakan yang ke 4 kalinya setelah sebelumnya juara di tahun 2017, 2019 dan 2022.
Namun bukannya mendapat sanjungan ataupun ucapan selamat atas gelar yang diraih, klub yang berjuluk ‘Singo Edan’ ini justru mendapat cacian dari para suporter di Indonesia. Penyebab utamanya tentu tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa.
Sedikit mengulang sekitar 2 tahun kebelakang tepatnya pada tanggal 1 Oktober 2022 bertempat di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang. Pada saat itu digelar pertandingan ‘Derby Jawa Timur’ antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang memang selalu memikat jutaan pasang mata seluruh pecinta bola tanah air. Namun pertandingan yang dinanti tersebut justru menjadi awal bencana besar bagi publik sepakbola.
Stadion yang harusnya jadi tempat menikmati sepak bola justru beralih bak medan pertempuran. Ribuan manusia terjebak di dalam Stadion yang dipenuhi asap dari gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian hingga mengakibatkan satu – persatu korban berjatuhan hingga total 135 orang harus kehilangan nyawa. Memang begitu mengiris hati mendengar kabar seperti itu.
Namun ada yang jauh lebih mengenaskan, yakni keadilan turut lenyap bersama 135 yang lain. Bagaimana mungkin tragedi yang membunuh hampir 1 kodi manusia tersebut hanya memberikan vonis kurang dari 5 tahun kepada para terdakwa. Bahkan ada 2 terdakwa yang divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani perkara ini dengan pertimbangan anginlah yang mendorong gas air mata ke pinggir lapangan sehingga membuat jatuh korban jiwa, walaupun pada akhirnya vonis tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Memang tidak salah kalau mereka memilih merayakan euforia kemenangan. Tapi akan lebih bijak lagi jika jajaran Arema FC lebih berempati kepada korban seperti yang dilakukan oleh rivalnya Persebaya Surabaya yang pada tahun 2005 memilih mundur saat pertandingan 8 besar Liga Indonesia demi keselamatan suporternya.
Sebagai penutup, penulis mengucapkan selamat untuk Arema FC atas gelar juaranya. Tentunya ini akan menjadi gelar yang paling berkesan karena 135 nyawa harus dikorbankan untuk eksistensi Arema.
Penulis : Fino