Indonesiadaily – Tidak hanya memiliki efek samping terhadap kesehatan fisik, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat adanya resistensi antibiotik atau resisten antimikroba (AMR) tidak yang menyerang masalah kesehatan mental.
Melansir dari Suara.com, Technical Officer (AMR) WHO Indonesia, Mukta Sharma, menjelaskan, adanya penyalahgunaan antimikroba serta antibiotik secara berlebihan yang membuat cepatnya penyebaran AMR di seluruh dunia.
Dalam studi yang telah dilakukan, memperkirakan bahwa lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019 secara langsung atau tidak langsung karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
“Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi. Ini bisa kita hindari kalau kita beraksi bersama sekarang. Kita harus melakukan ini kalau ingin melindungi generasi berikutnya,” ujar Mukta dalam acara konferensi pers WHO dan FAO di Westin Jakarta, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (12/10)
Antimikroba adalah obat-obatan untuk membunuh atau menghentikan perkembangbiakan mikroorganisme atau kuman yang menjadi penyebab penyakit infeksi.
Sedangkan resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) adalah kondisi ketika mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, atau parasit) menjadi kebal atau resisten terhadap pengobatan antimikroba.
Masalah gangguan kesehatan mental ini dibenarkan dan dialami langsung Penyintas Tuberkulosis Resisten Onat atau TB-RO, Paransarimita Winarni (40) yang hingga kini masih dilanda kecemasan meski sudah dinyatakan 8 tahun sembuh dari TB-RO.
Kecemasan ini terjadi bila anggota keluarga atau orang di sekitar yang ia temui bergejala batuk tak kunjung berhenti, ia takut tertular dan harus merasakan ‘penderitaan’ panjang maupun perjuangan mengonsumsi obat TB-RO dalam jumlah banyak.
Tak main-main jumlah obatnya mencapai 15 tablet, yang harus ia konsumsi setiap hari di waktu yang sama sekaligus, selama 7 bulan.
“Jadi aku takut banget kalau ada yang batik di dekat aku, bisa parno dan cemas parah. Ini sih udah mendingan dulu, bahkan ia sering terbangun di malam hari karena betapa selalu tenggang, ia harus berjuang untuk bisa sembuh dengan segala efek samping obat yang menurutnya sangat menyiksa,” ungkap dia.(*)
Editor: Nur Komalasari