Oleh : Eko S Dananjaya
Aktivis mahasiswa 80- an
Indonesiadaily.net – Pernahkah masyarakat melayu Rempang kecamatan galang Batam bermimpi hidupnya akan terjajah oleh pemerintahannya sendiri?
Mengingat masyarakat melayu Rempang Batam dalam pilihan pilpres tahun 2019 memenangkan pasangan Joko Widodo – Maruf Amin.
Perolehan suara pilpres pasangan Jokowi – Maruf Amin tahun 2019 di Batam dengan perolehan suara 50,50℅, menang diatas pasangan Prabowo – Sandiaga Uno yang hanya mendapat suara 44,50℅. Membuktikan bahwa masyarakat kepulauan Riau dan Batam nyata mempercayai pemerintahan Jokowi. Demikian pula pada pilpres 2014 pasangan Joko Widodo – Yusuf Kalla, telah memenangkan suara di beberapa kecamatan, dengan mendapat suara 257.98℅ dibanding Prabowo yang mengantongi perolehan suara 202,246℅ atau setara 43,02℅.
Beberapa kecamatan di kepulauan Riau telah memenangkan pasangan Jokowi – JK. Seperti kecamatan Batu Ampar, Batam kota, Bengkong, Batu aji, Sei Beduk, Nongsa, Sagukung, Lubuk Baja, Galang, Bulang. *Sumber berita Batam news 7 Mei 2019.
Dari formulasi pilpres 2014-2019, masyarakat adat melayu kepulauan Riau telah menyumbangkan dua kali kemenangan pasangan Jokowi – JK, Jokowi – Maruf. Ini menandakan bahwa, masyarakat adat melayu mencintai dan mempercayakan hidup dan politiknya kepada pemerintah Jokowi. Dengan harapan, pemerintah Jokowi dapat mensejahterakan serta membuat adil masyarakat adat melayu. Andai saja pada saat itu ada satu propinsi yang gagal mendulang suara. Cerita tentang pilpres Jokowi dipastikan tidak akan sepert ini. Dan sejarah akan bercerita lain. Secercah harapan masa depan masyarakat tidak dikianati oleh rejim ini. Di semenanjung melayu terpahat pepatah, kebaikan dibalas dengan keburukan. Air susu dibalas air toba. Hari ini kepercayaan masyarakat melayu kepulauan Riau pudar dan hancur.
Dengan segala cita dan rasa hormat masyarakat Rempang kepada pemerintah, yang semula harapan itu dititipkan kepada Jokowi. Sekarang dilukai oleh tindakan pengusiran serta penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Hilang sudah harapan tentang masa depan kehidupan mereka yang dulu damai dan sejahtera.
Masyarakat melayu kepulauan Riau, telah ikut andil mensukseskan terpilihnya kembali pemerintahan Jokowi. Seandainya mimpi bahagia itu terwujud. Tentu saja kedamaian terus terjadi. Tapi ternyata realitas tersebut berbalik seratus derajat, tidak seperti yang masyarakat impikan. Mungkin jika hari ini masyarakat mengalami pengusiran paksa, tentu pada waktu itu tidak akan ikut memilih jokowi untuk yang kedua kali.
Peristiwa penggusuran dan pengusiran masyarakat Rempang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Keangkuhan kekuasaan dipertontonkan. Tindakan represif aparat keamanan baik dari TNI maupun Polri telah melukai hati rakyat. Jelas dukungan politik rakyat kepulauan Riau atas kemenangan pilpres beberapa tahun lalu begitu gampang dilupakan dan di sia- siakan.
Ditambah pernyataan Mahfud MD yang sangat menyakitkan hati rakyat pulau Rempang. Mahfud mengatakan: “pemerintahan Jokowi menganggap Rempang adalah lahan kosong. Oleh sebab itu, bentrokan yang terjadi antara aparat gabungan TNI- Polri dengan masyarakat Rempang Batam bukan imbas dari upaya penggusuran, melainkan pengosongan lahan pemilik hak”.
Akal sehat mana yang bisa terima statemen Mahfud? Dalam penjelasannya, bahwa sejak tahun 2001 pulau Rempang telah diberikan oleh negara kepada suatu perusahaan, sebagai hak guna usaha ( HGU ). *Suara merdeka com 8 sept 2023.
Yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah : apakah yang dimaksud Mahfud MD mendapat HGU pada tahun 2001 itu termasuk perusahaan MEG : Mega Elok Graha?
Perlu kita buka lagi dokumen dan selidik di kantor BPN, buka kembali peraturan pemerintah tahun 2001 tentang hak guna pulau Rempang.
PT MEG adalah perusahaan pengembang anak perusahaan milik Tomy Winata. Yang sedianya akan membangun kawasan pulau Rempang sebagai Rempang Eco City. Tapi mengapa dengan hadirnya PT MEG ini kemudian muncul perlawanan rakyat. Justru moment buruk ini ditandai sepulang lawatan Jokowi dari Tiongkok beberapa bulan lalu. Memang informasinya bahwa pulau Rempang akan dijadikan kawasan industri secara bertahap, sejak tahun 2001, dengan catatan tidak mengabaikan kehidupan rakyat. Tapi realitasnya, pemerintah tidak memelihara kehidupan masyarakat dan ternyata justru abai.
Menurut info masyarakat, sudah ada investasi kecil- kecilan industri yang di bangun di pulau Rempang. Beberapa perusahaan itu selama ini tidak membuat gaduh masyarakat. Masyarakat menerima dengan baik dan sudah bertahun- tahun berjalan dengan damai.
Peraturan pemerintah thn 2001 itu perlu dikaji ulang. Agar diketahui batas otoritas penggunaan tanah wilayah yang ditetapkan pemerintah. Dan tentu saja harus diketahui dan melibatkan masyarakat setempat. Karena ada aturan pemerintah yang mengklaim itu adalah tanah kosong milik negara sedang sebenarnya milik adat.
Jika memang peraturan pemerintah 2001 belum direvisi, berarti PT MEG bisa saja belum ikut penataan. Artinya aturan baru pemerintah itu lakukan sepihak untuk mengukur tanah di sepanjang pulau Rempang yang akan di dirikan industri. Inilah yang menjadi sebab terjadinya konflik horisontal.
Sehingga tidak menjadi kecurigaan masyarakat ketika presiden Jokowi beberapa bulan lalu selepas kunjungan dengan Xi Jinping di hotel Shangri-La CHengdu. Tiongkok.
Dalam siaran pers, sebelumnya Jokowi bertemu dengan sejumlah pengusaha Tiongkok. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menekankan komitmen Indonesia untuk menjaga investasi supaya tetap stabil dan berjalan baik. Jokowi juga meminta supaya investor tidak ragu untuk menyampaikan kendala yang dihadapi ketika berinvestasi di Indonesia.
Tapi apa yang terjadi. Realitasnya di lapangan kendala itu selalu muncul. Apa yang dikatakan Jokowi tidak pernah terimplementasi dengan baik. Dari caranya sudah salah. Memaksakan kehendak dengan memakai kekerasan. Aparat dipakai untuk mengintimidasi rakyat. Rakyat dianggap penghalang dan harus di usir dari tanah kelahirannya. Stake holder masyarakat tidak diajak berdialog dengan matang. Pemerintah mengangap baik- baik saja dan aman. Tidak ada perkiraan sebelumnya bahwa investasi akan mengalami hambatan manakala keamanan dan stabilitas nasional menjadi kacau. Insiden Rempang adalah fakta dimana pemerintah memaksakan pembangunan pabrik kaca yang diasumsikan bisa membuka lapangan kerja. Tapi senjayatanya rakyat rempang akan menjadi pelengkap penderita dari pembangunan industri tersebut.
Lihat saja beberapa hari ini. Rakyat dan aparat saling berhadapan. Kedua belah pihak saling baku hantam. Siapa yang rugi? Kedua belah pihak tentunya. Rakyat mempertahankan tanahnya, sedang aparat polisi dan TNI melaksanakan perintah atasan.
Kerugian material, fisik bahkan nyawa rakyat menjadi investasi perjuangan yang masi dalam memperjuangkan hak dan harga diri mereka. Dampak sosial yang ditanggung rakyat tidak sedikit. Tidak gampang memindahkan rakyat dari satu tempat ke tempat lain. Manusia bukan seperti hewan yang begitu saja mudah di pindahkan dari tempatnya.
Pemerintah tidak mengkaji bahwa masyarakat melayu itu bukan saja Rempang. Tapi seluruh Kepulauan Riau dan melayu darat yang ada di Kalimantan, Sulawesi, di Jawa bahkan di Brunei Darusalam, Malaysia, Singapura adalah kumpulan masyarakat melayu besar yang memiliki ikatan batin satu rumpun.
Tampaknya pemerintah Jokowi mengangap enteng untuk membangun industri kaca dipulau Rempang. Bahlil lahadalia sebagai menteri investasi atau Badan Penanaman Modal. Tidak becus menangani investasi malah tampak sebagai keset- nya kapitalis oligarki. Jokowi yang terpesona dan napsu dengan program nilai investasi jumbo dari pemerintah Tiongkok. Tanpa melihat kaidah normatif dengan menghalalkan segala cara. Inilah akibat pemerintah yang malas bekerja dan berpikir, karea di dalam pikirannya hanya mengejar pertubuhan ekonomi dengan target mengundang dan memasukan investasi besar- besaran. Tapi rakyatnya ditindas untuk dijadikan alas atau karpet buat jalannya para oligarki dengan kedok investasi. (*)
*Tulisan ini sebagai protes keras kepada pemerintah Jokowi yang gagal mensejahterakan rakyat”