Pakar Hukum Pidana Sebut Pemerasan di Djakarta Warehouse Project Merupakan Pidana Murni

0
471
Pakar hukum pidana Yenti Garnasih.(istimewa/indonesiadaily.net)

 

Indonesiadaily.net- Pakar hukum pidana Yenti Garnasih menegaskan tindakan pemerasan oleh sejumlah penonton konser DWP (Djakarta Warehouse Project) adalah tindakan pidana murni. Polri sendiri berencana mengembalikan uang senilai Rp 2,5 miliar kepada korban penonton Djakarta Warehouse Project (DWP).

“Harus dibawa ke jalur pidana, bukan seperti perdata begini, kembalikan beres. Ini perasaan yang dilakukan APH, itu korupsi, korbannya orang asing lagi, bikin malu negara,” ujar Yenti Garnasih pada Indonesiadaily.net.

Panpel Kompolnas ini juga menambahkan, Pasal 4 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.

“Korupsi itu dalam pasal 4 uu tipikor, pengembalian yang hasil korupsi ( kerugian), tidak menghalangi proses pidananya. Bagaimana sih ini,” terangnya.

Selain itu, dirinya menegaskan bahwa perkara ini akan mencoreng nama baik Bangsa Indonesia terutama Polri yang saat ini terus ditimpa problem internalnya.

“Ini buruk sekali bagi Indonesia, kalau sampai tidak ke jalur hukum pidana, terutama untuk nama Polri yang memang sedang banyak masalah,” tuturnya.

“Tolong juga jangan salah restorative justice itu untuk kejahatan ringan, polisi memeras apa lagi korbannya warga Negara Asing itu kejahatan serius, berat, ” tutupnya.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan rilisnya mengatakan institusi Polri merupakan penyidik seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundamgan dan menurut hukum maka uang yang disita itu adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan.

“Sehingga kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan penyidik untuk menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut,” ujar Sugeng.

Ia menambahkan penegak hukum tahu, bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan nanti hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap Warga Negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan.

“Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp 2,5 milyar rupiah tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil kejahatan pemerasan,” terangnya.

“Kalau uang yang disita sebesar Rp 2,5 Miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia tersebut jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti untuk proses hukum yang tentunya tanda tanya masyarakat serta akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan merosot,” jelasnya.

Menurutnya pemerasan yang dilakukan oleh satuan kerja di reserse narkoba secara berjamaah itu tidak akan diproses secara hukum padahal sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri.

“Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan dalam kasus DWP ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur Restorarive justice,” lanjutnya.

“Hanya melalui proses pemeriksaan pidana maka dugaan pemerasan dalam jabatan ini bisa didalami modus, motif serta aliran dana kepada pihak lain dan juga adanya potensi TPPU bisa muncul karena uang hasil pemerasan tersebut ditampung pada rekening tertentu milik pihak2 lain,” jelas Sugeng.

Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai yang dibutuhkan oleh Institusi Polri adalah ketegasan dan komitmen memberantas polisi-polisi nakal. Hal ini sesuai yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memberi perintah tegas kepada jajarannya agar tak segan memberi hukuman kepada anggota yang melanggar hukum.

Sehingga kalau institusi Polri melalui Propam Polri melakukan pengembalian uang Rp 2,5 Miliar kepada korban pemerasan penonton DWP, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang akan mempidanakan anggotanya yang melanggar hukum.

Saat ini sidang Komisi Kode Etik Polri telah memutuskan tiga anggota Polri di-PTDH dalam kasus pemerasan penonton DWP yang berlangsung di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka yaitu Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Simanjuntak, Kasubdit III Dirresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia, dan Eks Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.

Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan AKP Yudhy Triananta Syaeful dipecat dalam sidang etik pada Selasa (31 Desember 2024). Sementara AKBP Malvino Edward Yusticia (MEY) dipecat dalam sidang etik pada Kamis (2 Januari 2025) lalu.

Indonesia Police Watch (IPW) menilai aneh putusan PTDH terhadap mantan direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya, Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak yang perannya.

Hanya tahu tapi tidak menindak. Hal ini merupakan putusan ambigu karena diartikan lalai. Sehingga Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak tidak sepatutnya dipecat dengan alasan karena tidak melarang dan menindak anggotanya yang memeras.

Dengan begitu, putusan dari Sidang Komisi Kode Etik Polri ini, akan menjadi celah di dalam tingkat banding, akan terjadi putusan yakni dari PTDH ke demosi. Hal ini seperti terjadi pada anggota yang terlibat dalam kasus Ferdy Sambo dan naik pangkat.

Karenanya, putusan kasus pemerasan penonton DWP oleh anggota Polri yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat itu, akan menjadi acuan langkah institusi Polri di tahun 2025 dan tahun-tahun berikutnya di era Presiden Prabowo.

“Sikap dari Presiden Prabowo sebagai pimpinan langsung dari lembaga Polri sangatlah ditunggu,” pungkasnya.

Penulis : Anto


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini