Nasib Undang-Undang Cipta Kerja di Tangan Prabowo

0
987
Syaiful Bahari, S.H.,M.H.(istimewa/indonesiadaily.net)

Oleh: Dr. Syaiful Bahari, S.H.,M.H

Belum genap sebulan Prabowo-Gibran dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke delapan, persoalan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) kembali mencuat, diawali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Oktober 2024 yang mengabulkan permohonan judicial review serikat pekerja yang menuntut klaster undang-undang ketenagakerjaan dikeluarkan dari UUCK (undang-undang cipta kerja) dan memerintahkan pemerintah untuk menyusun undang-undang tersendiri. Setelah putusan MK, menyusul diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Pembubaran Satgas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja pada tanggal 8 November 2024.
Kedua putusan di atas tentu saja menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat, apakah setelah berakhirnya kekuasaan Jokowi, UUCK sudah mulai tidak memiliki legitimasi yang kuat, termasuk di mata pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto. Mengingat di era Jokowi, pemerintah sangat memaksakan kehendak agar UUCK disahkan meskipun MK telah membatalkan UUCK pertama yaitu UU No. 11 Tahun 2020, karena proses pembentukannya dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Namun, Jokowi kembali mengeluarkan UUCK baru yakni UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, sehingga menimbulkan polemik yang berkepanjangan sampai akhir pemerintahan Jokowi.

UUCK telah menjadi salah satu produk legislasi paling kontroversial di Indonesia dalam dekade terakhir. Sebagai undang-undang Omnibus Law pertama di Indonesia, UU ini menggabungkan perubahan lebih dari 70 undang-undang dalam satu paket kebijakan. Tujuannya adalah untuk merampingkan regulasi, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja. Namun, sejak awal pengesahannya pada Oktober 2020, UU ini menghadapi resistensi publik yang cukup kuat, khususnya dari serikat pekerja, mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Karena UU tersebut danggap lebih memihak kepada investasi besar, termasuk modal asing, dan menguntungkan oligarki.
Dalam perjalanannya, UU ini menghadapi berbagai persoalan, salah satunya menurut pemerintah saat itu adalah minimnya pemahaman masyarakat dan pejabat daerah mengenai isi dan tujuan UUCK. Sosialisasi yang terbatas menimbulkan banyak mispersepsi dan resistensi di tingkat akar rumput. Karena itu, untuk mengatasi penolakan masyarakat dan persoalan koordinasi antar lembaga pemerintah maka oleh presiden Jokowi dibentuk Satgas Sosialisasi UU Cipta Kerja melalui Perpres No. 82 Tahun 2021. Satgas Sosialisasi UUCK dibentuk dengan tugas utama yaitu meningkatkan pemahaman masyarakat, mengkoordinasikan implementasi UU, serta mengakomodasi masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

Pembubaran Satgas Sosialisasi UUCK

Empat tahun setelah Satgas Sosialisasi UUCK dibentuk, kebijakan pemerintahan baru di bawah presiden Prabowo, alih-alih memperkuat peran dan fungsi Satgas, justru membubarkan lembaga tersebut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Pembubaran Satgas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja pada tanggal 8 November 2024. Kebijakan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra, di satu sisi sebagian masyarakat melihat tetap pentingnya keberadaan Satgas tersebut, mengingat UUCK yang isi halamannya berjilid-jilid dan sulit dipahami secara cepat oleh pejabat negara, anggota legislatif dan masyarakat, untuk itu perlu lembaga khusus yang memberikan edukasi tentang isi dari UUCK. Di sisi lain, pihak yang sejak awal melihat kehadiran UUCK tidak realistis menganggap kehadiran lembaga sosialisasi tidak terlalu berguna, karena UUCK nya sendiri bermasalah.
Pembubaran Satgas menjadi sinyal bahwa pemerintah Prabowo bersedia meninjau ulang regulasi ini dan mendengarkan aspirasi masyarakat. “Pemerintah tidak menutup mata terhadap kritik, kami akan melakukan evaluasi mendalam terhadap substansi UU Cipta Kerja,” jelas Prabowo kepada media. Prabowo memilih untuk fokus pada perbaikan isi UUCK, salah satunya melakukan revisi yang lebih komprehensif, terutama terkait perlindungan hak-hak pekerja, perlindungan lingkungan, dan dukungan terhadap UMKM. Langkah ini diambil setelah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan praktisi hukum yang menilai bahwa perbaikan substansi lebih penting dibandingkan sosialisasi berkelanjutan. Sikapnya ini juga terbukti setelah MK mengabulkan permohonan judicial review serikat pekerja, pemerintah lebih memilih menerima putusan MK dan akan menyusun kembali UU Ketenagakerjaan yang baru.
Alasan lain adalah dalam rangka menyederhanakan birokrasi dan meningkatkan efisiensi pemerintahan. Fungsi sosialisasi yang sebelumnya dijalankan oleh Satgas kini dialihkan langsung kepada kementerian terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Investasi. Prabowo percaya bahwa pendekatan ini akan mengurangi tumpang tindih fungsi dan mempercepat implementasi kebijakan. Keberadaan Satgas dinilai menambah lapisan birokrasi yang tidak diperlukan.
Pesan lain yang ingin disampaikan adalah bahwa pemerintahan baru ingin menciptakan ruang dialog yang lebih luas dengan serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku usaha, sehingga proses revisi kebijakan bisa lebih inklusif dan mengurangi resistensi publik. Dalam hal ini, terjawab mengapa di kabinet Prabowo-Gibran cukup banyak ditempatkan para mantan aktivis, diharapkan supaya dapat menjembatani dialog langsung dengan masyarakat. Pemerintahan Prabowo juga tidak ingin menjadi pihak yang menanggung beban sosial yang disebabkan oleh produk hukum lama yang diwariskan presiden sebelumnya, sehingga lebih membuka diri untuk tidak menyangkal atau melawan putusan MK atau kritik masyarakat terhadap UUCK. Namun demikian, apakah Prabowo akan menganulir seluruh isi UUCK? Tentu saja tidak, karena UUCK adalah undang-undang negara di mana pemerintahan yang baru juga harus tunduk, terkecuali terjadi pencabutan klaster atau pasal-pasal oleh MK melalui judicial review.

Dampak dan Pelajaran bagi Pemerintahan Berikutnya

Dengan dibubarkannya Satgas Sosialisasi UUCK dan mulai diperetelinya UUCK oleh MK, mengakibatkan legitimasi UUCK sebagai payung hukum dari sebagian besar UU dan Peraturan Pemerintah kehilangan kepastian hukumnya. Tidak hanya di UU Ketenagakerjaan, tetapi di sektor lain juga menghadapi persoalan yang sama. Setelah diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah mengeluarkan banyak Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksanaan dari UUCK. Salah satunya di sektor pertanahan, yaitu diterbitkannya PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dan PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Kemudian dari PP tersebut diturunkan ke Peraturan Menteri (Permen). Persoalannya adalah setelah MK membatalkan UU No. 11 Tahun 2020 dan pemerintah di era Jokowi menerbitkan kembali UU No. 6 Tahun 2023, Peraturan Pemerintahnya masih belum berganti, masih menggunakan PP lama. Jadi, secara hirarki norma peraturan perundang-undangan, seluruh PP yang merupakan produk dari UUCK lama seharusnya secara hukum gugur, disinilah terjadi kekosongan hukum.
Kekosongan dan ketidakpastian hukum ini yang harus menjadi agenda prioritas pemerintahan Prabowo untuk segera dibenahi. Perlu dilihat kembali apakah seluruh PP yang dikeluarkan tahun 2021 sebagai turunan dari UUCK lama sudah direvisi dan diterbitkan sesuai dengan UUCK yang baru. Di sisi lain, juga harus dikaji kembali apakah PP yang ada saling tumpang tindih dan bertentangan satu dengan lainnya. Dengan demikian, langkah presiden Prabowo tidak hanya sekedar membubarkan Satgas Sosialisasi UUCK, tetapi yang terpenting adalah mengevaluasi dan mengkaji kembali UUCK dan seluruh PP serta Permen yang telah diterbitkan, agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan ketika menjalankan agenda-agenda pemerintahan.
Apabila Prabowo tidak segera menyelesaikan persoalan tatanan hukum ini, dikhawatirkan bekerjanya kementerian dan lembaga di “Kabinet Merah Putih” akan terganggu dan tidak berjalan maksimal, karena tumpang tindih dan kesemerawutan kewenangan di pemerintahan sebagai akibat ketidakpastian hukum di UUCK. Presiden Prabowo harus dapat memastikan setiap kebijakan dan keputusan presiden dan menteri-menterinya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang pasti dan prudent. Langka ini menjadi penting karena UUD 1945 menyebutkan Indonesia adalah rechtstaat, yakni negara berdasarkan hukum, bukan machtstaat, yaitu negara berdasarkan kekuasaan semata.
Pengalaman sebelumnya, pemerintahan lebih banyak dijalankan melalui Peraturan Presiden (Perpres) atau Keputusan Presiden (Keppres), dibandingkan dengan Presiden menjalankan perintah UU. Karena itu ciri khas dari pemerintahan Jokowi selama 2014-2024 adalah lebih berorientasi kepada “executive heavy”, kepemimpinan Jokowi bergantung kepada popularitas, karena itu harus terlihat di mata rakyat bahwa seluruh kebijakannya bersumber dari “dirinya” sebagai presiden. Itulah sebabnya selama 10 tahun berkuasa, Jokowi lebih banyak menjalankan pemerintahannya melalui Perpres atau keppres. Apakah kepemimpinan Prabowo kembali akan mengikuti jalan Jokowi, yakni akan lebih banyak mengeluarkan Perpres atau Keppres dalam menjalankan pemerintahan, atau Prabowo lebih menjaga keseimbangan antara peran eksekutif dan legislatif dalam membangun kebijakan dan melahirkan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan UUD 1945, kepentingan rakyat banyak, dan membuka ruang partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan negara yang lebih adil bagi semua orang.
Jika Prabowo menginginkan legislasi yang kuat dan diterima oleh masyarakat, maka sebaiknya langka awal mulai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap UUCK, baik dari sisi asas, norma hukumnya, dan juga proses pembentukannya yang tidak memenuhi transparansi publik, yang di masa sebelumnya banyak menimbulkan resistensi dan protes dari masyarakat sipil. Terlebih lagi, asas dan norma UUCK jika dilihat dari perpektif ideologi Pancasila dan UUD 1945, lebih banyak menyimpangnya karena banyak mengorbankan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Hal tersebut tentu saja tidak sejalan dengan visi dan misi presiden Prabowo yang lebih berorientasi pada nasionalisme dan membangun kedaulatan ekonomi Indonesia.


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini