Indonesiadaily.net – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan sebuah pernyataan yang jika seseorang ingin menjadi kepala daerah, harus menyiapkan modal biaya yang cukup fantastis. Dimana, bisa menghabiskan puluhan bahkan sampai ratusan miliar rupiah.
Besaran dana yang harus disiapkan bevariasi tergantung pada lokasi daerahnya.
“Versinya Kemendagri modalnya adalah untuk kabupaten atau kota yang pinggiran Rp30-50 miliar. Di atas, itu yang menengah Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar untuk yang metro sudah di atas Rp150 miliar,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Ghufron mengatakan, tentu jumlah modal politik tersebut tidak sejalan dengan gaji yang didapat saat menjadi kepala daerah. Karena seorang kepala daerah kerap terpaksa untuk mengembalikan modal politik dengan cara koruptif.
Dimana bedasarkan catatan KPK, setidaknya sudah ada ratusan pejabat kepala daerah hingga legislator yang telah ditangkap KPK lantaran berbuat korupsi.
“Kita tahu gaji kepala daerah masih relatif tidak proporsional dengan bebannya. Sehingga, mau tidak mau proses pengembalian modal itu dengan cara korup, me-maintain proses dukungan politik juga butuh biaya, harus bikin program Sinterklas kepada publik. Apalagi, kalau mau nyambung untuk proses politik lebih lanjut atau tahap kedua,” katanya.
“Ini yang menyebabkan proses berbiaya tinggi, ditopang gaji yang belum proporsional menjadikan korupsi sebagai jalan keluarnya. Ketika korup, kucing-kucingan dengan KPK, dan melahirkan sudah 300 kader di legislatif, yang duduk di kepala daerah sudah 144,” tambahnya.
Menurut Ghufron, tingginya biaya politik tersebut menyebabkan proses demokrasi sarat dengan transaksi bisnis.
“Demokrasi di Indonesia, yang sampai saat ini masih biayanya sangat tinggi mengakibatkan proses politik yang harusnya secara hati nurani menjadi transaksi bisnis,” sebutnya.
Pihaknya mendorong agar segera dibuat Undang-Undang Partai Politik untuk mengatur penggunaan anggaran hingga bantuan serta sistem politik.
“Mari kita bangun sistem politik ke depan yang lebih berintegritas dan itu awalnya dari kebijakan pembentukan Undang-Undang parpol. Baik tentang penggunaan anggaran, bantuannya, termasuk tentang sistem politiknya seperti apa. Apakah terbuka, proporsional maupun apapun,” ujarnya. (*)
Editor : Pebri Mulya