Indonesiadaily.net – Film horor religi Siksa Kubur sukses menyita perhatian. Terbukti hingga kini film tersebut salah satu yang paling banyak ditonton di bioskop. Namun sayangnya belum lama ini ada orangtua yang mengajak anaknya menonton film tersebut. Pasalnya film horor itu memiliki rating 17+ yang artinya hanya bisa ditonton oleh mereka yang usianya 17 tahun ke atas. Lalu bagaimana dampak psikologis nya terhadap anak? Berikut paparannya.
Psikolog Ratih Ibrahim mengatakan, rating usia untuk film dibuat bukan tanpa alasan. Melainkan, sebagai bentuk proteksi bagi penonton, khususnya anak-anak karena pada umumnya film tersebut berisi konten kekerasan dan pornografi.
“Film dengan rating usia 17+ umumnya mengandung konten kekerasan dan pornografi, sehingga jelas bukan diperuntukkan sebagai tontonan anak-anak,” katanya seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia mengungkapkan mengajak anak menonton film dengan rating usia 17+ merupakan bentuk kekerasan terhadap anak (violence against children) yang dilakukan oleh orangtua. Sebab, kewajiban orangtua adalah mendidik dan melindungi anak. Artinya stimulasi untuk anak harus sesuai dengan umur si kecil.
“Mengajak nonton film yang bukan umurnya, apalagi dengan potensi menorehkan trauma buat anak-anak, itu bentuk kezoliman dan violence against children,” ungkapnya.
Psikolog mengungkapkan bahwa ada sejumlah dampak negatif apabila anak menonton film tidak sesuai dengan rating usianya.
Praktisi Psikologi Anak, Aninda, S.Psi, M.Psi.T., menjelaskan, anak berpeluang besar mengalami trauma terhadap kejadian sejenis seperti yang digambarkan dalam adegan film. Sebab, anak-anak sudah mulai memahami emosi dasar, seperti paham rasa takut dan marah karena merasa tidak nyaman.
Berbanding terbalik dengan rasa trauma, anak bisa saja menganggap bahwa peristiwa dalam film tersebut merupakan hal yang wajar. Kondisi tersebut disebabkan lantaran kemampuan anak berpikir sadar belum berkembang secara optimal. Karenanya, anak-anak belum mampu membedakan suatu kejadian sebagai kenyataan atau rekayasa maupun membedakan perbuatan yang salah atau benar.
“Contohnya jika adegan kekerasan, maka bisa jadi anak akan menganggap hal tersebut wajar dilakukan karena toh “di film saja boleh”,” paparnya.
Seperti disampaikan sebelumnya, meskipun pikiran sadar anak masih belum berkembang dengan optimal, namun anak sudah mulai memahami emosi dasar. Jadi, anak sudah mulai memahami rasa, seperti takut dan marah. Saat menonton film yang tidak sesuai dengan rating usianya, anak bisa saja merasakan emosi negatif dan tidak nyaman. Sayangnya, anak-anak cenderung belum bisa meregulasi emosi negatif tersebut serta masih membutuhkan bantuan orangtua.
Ratih Ibrahim menuturkan bahwa dampak negatif anak menonton film dengan rating usia 17+ secara umum adalah mendorong perilaku menyimpang pada anak. Sebab, seperti diterangkan sebelumnya, film dengan rating usia 17+ biasanya mengandung unsur kekerasan dan pornografi.
Perilaku menyimpang yang dimaksud Ratih, seperti kekerasan secara verbal maupun non-verbal hingga perilaku seksual di bawah umur.
Menurut Ratih, kondisi tersebut disebabkan kemampuan anak dalam menyaring informasi masih kurang. Selain itu, anak masih belum cukup dewasa untuk memproses informasi tersebut, sehingga akan mudah terpengaruh dan meniru berbagai hal yang mereka lihat dan dengar.
Anak akan menganggap tindakan seksual dan kekerasan, seperti seks bebas, kebimbangan terkait orientasi seksual, dan perkelahian, menjadi suatu hal yang wajar,” paparnya.
Jika anak kerap menonton film dengan rating usia 17+ dalam jangka panjang, Ratih menuturkan bahwa anak dapat berpotensi menjadi pribadi yang cenderung menutup diri dan kurang percaya diri.(*)