Gaya Hidup Thrifting, Mending Barang Bekas Tetapi ‘Limited Edition’

0
299
gaya hidup baju bekas
Ilustrasi

Indonesiadaily.net – Semakin banyak orang yang memilih gaya hidup thrifting di era sekarang ini. Banyak orang yang beranggapan dengan gaya hidup thrifting bisa menjadi keren.

Pada dasarnya, thrifting adalah berhemat. Budaya ini diawali oleh orang-orang yang tak mampu membeli baju baru dengan harga selangit, dan untuk mengakalinya dengan membeli baju bekas.

Dulu, belanja baju bekas menjadi solusi segelintur orang yang ingin bergaya. Namun kini, baju bekas justru jadi alternatif yang disukai banyak orang.

Terbukti, jika dulu baju bekas hanya bisa didapatkan di pasar loak, kini bisa didapatkan di mana saja. Berbagai toko daring pun berlomba-lomba memasarkan baju-baju bekas yang dinilai masih layak pakai.

Pengamat sosial dan budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menilai ada beberapa faktor yang turut memengaruhi menjamurnya tren thrifting.

“Ada pengaruh sosial media juga yang mempromosikan budaya ini. Biasanya dimulai oleh para konten kreator yang punya reputasi, dan tahu sendiri anak muda kita kebanyakan FOMO,” kata Devie.

Menurut Devie, semakin berkembangnya budaya thrifting ini tidak terlepas dari lima unsur utama. Lima unsur itu disebut sebagai 5K. Berikut di antaranya.

  1. Krisis keuangan

Daya beli masyarakat terpengaruh besar terhadap krisis keuangan. Hal ini bisa terjadi karena pandemi Covid-19, yang tak cuma berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga daya beli masyarakat.

Keuangan merosot tapi kebutuhan sandang tak berkurang. Akhirnya, banyak orang yang beralih ke pasar loak atau thrifting untuk memenuhi kebutuhan mereka.

“Ke pasar thrifting dengan uang Rp300 ribu bisa dapat tiga pasang atau bahkan lebih baju dengan label Nike, Gucci, bahkan kalau beruntung bisa ada Prada,” kata Devie.

  1. Kesadaran ekologi

Kedua, adalah kesadaran ekologi. Hal ini terkait dengan isu mengenai limbah tekstil yang menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia. Kiwari, orang-orang mulai menyadari hal tersebut.

Pemikiran menumpuk sampah tekstil dari baju-baju tak terpakai yang pelan-pelan bisa menghancurkan Bumi tanpa disadari membuat pasar thrifting maju pesat.

“Orang-orang sadar, kalau terus beli baju, sampahnya makin banyak. Makanya, ya udah, beli yang bekas saja. Jadi, tidak menumpuk masalah sampah baru,” kata Devie.

  1. Keunikan

Baju yang dijual di pasar thrifting biasanya bersifat ‘limited edition’. Jarang ada pakaian yang sama tersedia dalam jumlah lebih dari dua potong.

Umumnya, bahkan satu pakaian hanya tersedia dalam satu potong. Hal ini dianggap membuat baju-baju bekas itu dianggap unik.

“Kalau beli baju baru misal di toko itu, kan, berderet sama jadi tidak unik. Kalau di pasar loak hanya ada satu, entah ada dimana lagi kembarannya, makanya terasa unik,” kata dia.

  1. Promosi konten kreator

Konten kreator berpengaruh besar terkait budaya thrifting ini. Budaya ini menjadi dikenal luas karena banyaknya kreator konten yang mempromosikan kegiatan belanja barang bekas mereka melalui akun media sosial.

“Akhirnya orang tertarik dan kemudian mencobanya. Oh, ternyata murah, oh, ternyata bagus. Jadi-lah budaya ini makin digemari banyak orang,” katanya.

  1. Konten eksistensi

Kebutuhan eksistensi, ingin terlihat keren, dan selalu berganti pakaian di setiap kesempatan yang berbeda membuat budaya thrifting kian diminati. Dengan cara ini, kebutuhan eksistensi yang semakin besar dapat terpenuhi tanpa harus merogok kocek terlalu dalam.

Namun tentunya, thrifting yang dikenal saat ini berbeda dengan yang dulu. Bahkan, beberapa barang atau baju bekas kini terkesan mahal. Hal ini, menurut Devie, terjadi karena tingginya minat akan gaya hidup tersebut.

“Hukum pasar, makin tinggi peminat, mereka makin naik harga. Kalau dulu mungkin masih bisa nemu kaos Nike yang harganya Rp5 ribu, sekarang Rp50 ribu saja sudah agak sulit,” katanya. (*)

 

Editor : Pebri Mulya


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini