Indonesiadaily.net – CEO Tesla Elon Musk akan melakukan uji coba cip otak nirkabel Neuralink pada manusia dalam enam bulan ke depan.
Menurut Musk, cip tersebut memungkinkan pasien yang cacat untuk bergerak dan berkomunikasi lagi, dikutip dari Reuters yang dilansir kompas.com.
Berbasis di San Francisco Bay Area dan Austin, Texas, Neuralink dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan tes pada hewan guna mendapatkan persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA) AS untuk memulai uji klinis pada manusia.
“Kami sangat berhati-hati dan yakin itu akan bekerja dengan baik sebelum menempatkan perangkat ke manusia,” kata Musk.
Dua aplikasi manusia pertama yang ditargetkan oleh perangkat Neuralink akan memulihkan penglihatan dan memungkinkan pergerakan otot pada orang yang tidak dapat melakukannya.
“Bahkan, jika seseorang tidak pernah memiliki penglihatan, seperti mereka dilahirkan buta, kami percaya kami masih dapat memulihkan penglihatan,” ujarnya.
Acara tersebut awalnya direncanakan pada 31 Oktober 2022, tetapi Musk tiba-tiba menundanya tanpa memberikan alasan.
Presentasi publik terakhir Neuralink, lebih dari setahun yang lalu, melibatkan monyet dengan cip otak yang memainkan permainan komputer dengan berpikir sendirian.
Pemilik baru Twitter itu dikenal dengan ambisinya seperti menjajah Mars dan menyelamatkan umat manusia.
Ambisinya untuk Neuralink, yang diluncurkannya pada tahun 2016, memiliki skala besar yang sama.
Ia ingin mengembangkan sebuah cip yang memungkinkan otak untuk mengontrol perangkat elektronik kompleks.
Perangkat itu diharapkan membantu orang yang lumpuh untuk mendapatkan kembali fungsi motorik dan mengobati penyakit otak, seperti parkinson, demensia, dan alzheimer.
Musk mendekati pesaingnya, Synchron, yang awal tahun ini tentang investasi potensial di bidang yang sama.
Synchron melewati tonggak utama pada Juli dengan menanamkan perangkatnya pada seorang pasien di Amerika Serikat untuk pertama kalinya.
Mereka menerima izin peraturan AS untuk uji coba manusia pada tahun 2021 dan telah menyelesaikan studi pada empat orang di Australia. (*)
Editor : Nur Komalasari