Indonesiadaily.net – Dinas Pendidikan dan Olah Raga (Disdikpora) DIY mengaku sedang menelusuri kejadian siswi muslim yang mengalami depresi usai dipaksa mengenakan jilbab oleh SMAN 1 Banguntapan.
Kepala Disdikpora DIY, Didik Wardaya mengatakan, bahkan telah membentuk tim untuk mencari tahu dan mengusut kebenaran kejadian ini.
“Itu baru kita telusuri. Ini teman-teman baru bentuk tim untuk menelusuri terkait hal tersebut,” kata Didik.
Disdikpora menekankan, pada prinsipnya tidak ada kewajiban model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sekolah juga tidak boleh melarang jika peserta mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian kekhususan agama tertentu berdasarkan kehendak orang tua, wali, dan peserta didik yang bersangkutan.
“Sekolah yang diselenggarakan pemerintah itu adalah yang sebuah sekolah itu mencerminkan replika kebhinekaan. Jadi memang tidak boleh kemudian satu siswa diwajibkan memakai jilbab itu tidak, artinya memakai jilbab itu atas kesadaran. Jadi kalau memang anak belum secara kemauan memakai jilbab ya tidak boleh dipaksakan karena itu sekolah pemerintah, bukan sekolah basis agama,” katanya.
Didik turut menekankan, satuan pendidikan dilarang memperjualbelikan seragam sekolah kepada setiap peserta didik sesuai Permendikbud berlaku.
Tim Disdikpora turut memeriksa panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah guna mendalami kabar wajib pembelian hijab sebagai salah satu atribut siswa/siswi SMAN 1 Banguntapan.
“Ini baru kita inventarisir memang ada yang kemudian mengatakan tidak memaksa artinya dia menyediakan bagi siswa yang tidak minta. Tapi yang jelas tidak boleh artinya sekolah tidak boleh memaksakan harus beli seragam, tidak ada aturan itu,” ucapnya.
Didik enggan membicarakan sanksi manakala sekolah terbukti melangkahi peraturan. Timnya, kata dia, masih akan menelaah hasil investigasi di lapangan dan mencocokannya dengan isi beleid berlaku.
“Tapi yang jelas kita akan memberikan peringatan supaya tidak terjadi lagi,” pungkasnya.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY adalah salah satu yang menerima aduan terkait kasus ini. Setelah melakukan pengecekan ke lokasi beberapa waktu lalu, didapati keterangan dari kepala sekolah bahwa siswi yang bersangkutan mengalami masalah keluarga.
Ketua ORI DIY Budhi Masturi pun terus menggali informasi dari berbagai sisi. Termasuk dengan memanggil Kepala SMAN 1 Banguntapan untuk dikonfirmasi sejauh mana yang bersangkutan mengetahui kasus ini.
“Kami terus dapat informasi dan rupanya ada sedikit informasi ada sangkut paut pada pakaian identitas agama,” kata Ketua ORI DIY Budhi Masturi, Jumat (29/07).
Kepala sekolah, mengaku kepada ORI DIY tak menerima laporan dari guru dari Bimbingan dan Konseling (BK) yang disebut melakukan pemaksaan. Terkait hal ini, Budhi menyatakan pihaknya masih akan melakukan pemanggilan ke pihak terkait pekan depan.
“Yang berkaitan itu ada dua, koordinatornya sama satu salah satu guru BP (BK). Kemudian juga guru agama kita kan penjelasannya dan wali kelas. Kita sudah catat semua namanya tadi,” pungkasnya.
Sebelumnya Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) melaporkan adanya salah seorang siswi muslim kelas X SMAN 1 Banguntapan Bantul, DIY disebut mengalami depresi berat usai dipaksa mengenakan jilbab di sekolahnya ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Siswi berusia 16 tahun itu disebut mengalami trauma usai salah seorang guru BK memakaikan jilbab kepadanya secara paksa 19 Juli 2022. Siswi itu bahkan sampai menangis selama satu jam di toilet saat itu.
Siswi itu sempat mengurung diri di kamar rumahnya dan tak mau berbicara dengan orangtuanya. Pada tanggal 25 Juli lalu ia pingsan saat mengikuti upacara bendera dan belum mau kembali ke sekolah sampai hari ini. (*)
Editor : Fenilya