Indonesiadaily.net – Praktisi hukum sekaligus alumni Universitas Indonesia (UI), Deolipa Yumara, mendesak Rektorat UI bersikap transparan dalam proses investigasi terkait gelar doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Ia menyoroti sejumlah dugaan kejanggalan, termasuk indikasi gratifikasi dan penggunaan data yang tidak akurat dalam disertasi.
“Kalau dugaan (gratifikasi) seperti ini, apalagi tiba-tiba cumlaude ya, ini dugaan gratifikasi ini ada. Apalagi mereka yang kemudian mempromosikan diduga adalah orang dekatnya si Bahlil,” kata Deolipa kepada awak media pada Selasa (17/12/2024).
Deolipa menyatakan, dugaan gratifikasi ini perlu ditindaklanjuti secara serius, terutama terkait proses promosi gelar yang dinilainya janggal. “Jadi, dugaan gratifikasi ini kita duga ada, tapi kita nggak tahu sejauh mana proses gratifikasi ini berlangsung, makanya kita kejar nih para pihak yang melakukan promosi tersebut,” sambungnya.
Menurutnya, sanksi tegas perlu diberikan jika memang ada pelanggaran dalam pemberian gelar doktor tersebut. “Paling tidak diganti jadi doktor biasa atau dibatalkan, walaupun nanti kemudian akan mencoreng nama baik UI juga,” ujarnya.
Lebih lanjut, Deolipa mengungkapkan bahwa dirinya bersama sejumlah anggota Ikatan Alumni UI (Iluni UI) telah menginisiasi petisi yang menuntut evaluasi atau pembatalan gelar doktor Bahlil. “Petisi dari alumni UI sudah banyak, sudah sekira 20-an ribu. Isinya mendesak gelar doktor si menteri Bahlil itu dievaluasi atau dibatalkan,” tutur Deolipa.
Menurut mantan aktivis 98 UI itu, isu ini menyangkut kredibilitas UI sebagai institusi pendidikan. Oleh karena itu, ia meminta Rektor dan Wakil Rektor UI yang baru untuk memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. “Apalagi ini kan ada rektor baru, sama wakil rektor juga baru, mereka harus atensi terhadap persoalan ini,” ujarnya.
Deolipa juga menyoroti status cumlaude yang diberikan kepada Bahlil Lahadalia, yang menurutnya tidak sesuai dengan standar akademik. “Persoalannya adalah dia mendapatkan status cumlaude, padahal data (disertasi) itu adalah data catatan dari jaringan advokasi tambang,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa gelar doktor cumlaude seharusnya mencerminkan kesempurnaan akademik, dengan IPK minimal 3,9 hingga 4. “Nah, doktor cumlaude ini juga harusnya sempurna, tapi kemudian ternyata data-data yang dipakai dalam disertasinya adalah data yang tidak akurat atau malah data yang hasilnya dari mencolong punya orang lain,” bebernya.
Deolipa menyebut bahwa hal tersebut telah dikomplain oleh pihak Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) selaku pemilik data. “Nah ini cumlaude-nya kemana sekarang? Berarti kan tidak sempurna, berarti cumlaude-nya harus hilang,” tuturnya.
Lebih jauh, Deolipa menegaskan bahwa permasalahan ini justru mempermalukan UI sebagai institusi akademik. “Karena gelar doktor yang disetujui oleh UI adalah doktor cumlaude, direvisi menjadi doktor biasa, nah ini berarti ada suatu kesalahan yang dibuat oleh UI. Nah ini kita minta supaya Rektor UI ini kemudian harus mengantisipasi ini,” sambungnya.
Deolipa mendesak pihak Rektorat UI dan Majelis Wali Amanat untuk membuka hasil investigasi secara transparan. “Jadi nanti kita akan minta supaya rektor ini terbuka, wali amanat UI juga harus terbuka, apa sih hasil mereka melakukan penilaian dan investigasi terhadap gelar doktornya,” tandasnya.(*)