Indonesiadaily.net – Setelah pembentukan Holding BUMN Farmasi yang dipimpin oleh PT Bio Farma (Persero) pada 2020 yang lalu, Kementerian BUMN menetapkan kebijakan fokus bisnis strategis untuk meningkatkan efisiensi, daya saing, dan kemandirin industri farmasi nasional.
Namun, menginjak diusianya yang ke 5 tahun ini alih-alih jadi mandiri justru yang terjadi sebaliknya, saat ini kondisi Holding BUMN Farmasi malah berada di “ambang krisis”.
Hal ini, dipicu oleh lemahnya peran Holding BUMN Farmasi dalam menjalankan peran parenting nya ke anak-anak perusahaan. Ridwan Kamil, Sekjen Federasi Serikat Pekerja BUMN Indonesia Raya (FSP BUMN IRA), menjelaskan, Holding BUMN Farmasi terdiri dari gabungan 4 BUMN yaitu PT Bio Farma (Persero), PT Kimia Farma, Tbk, PT Indofarma, Tbk dan PT Inuki (Persero). Kalau dengan anak dan cucu usaha semuanya ada 8 entitas perusahaan.
“Sejak dibentuknya Holding BUMN Farmasi 5 tahun lalu, semua pihak berharap suatu saat BUMN Farmasi ini akan lebih kuat dan menjadi perusahaan farmasi nomor satu baik nasional ataupun global,” kata Kamil di Jakarta.
Harapan tersebut menurut Kamil sangat logis, karena Holding BUMN Farmasi ini selain pasti akan didukung penuh pemerintah, juga memiliki aset sebesar Rp.32,25 triliun yang seharusnya bisa membuat BUMN Farmasi sebagai pemain penting dalam industri farmasi nasional.
Tetapi menurut Kamil yang juga Ketum Serikat Pekerja Indofarma tahun 2020-2023, fakta menunjukan sebaliknya, holding BUMN Farmasi setelah berjalan selama 5 tahun sedang menuju jurang krisis yang dalam. Skandal korupsi dari direksi sebelumnya, Indofarma selama 2 tahun ini mengalami krisis multidimensi, mulai dari krisis keuangan, operasional, kepercayaan, sampai kemanusiaan semuanya ada dan terjadi secara bersamaan. Bahkan, masih menurut Kamil, bulan Februari 2025 lalu anak usaha Indoframa, PT IGM dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Kamil mengungkapkan, masalah di BUMN Farmasi bukan hanya ada di Indofarma juga Kimia Farma. Yang membedakannya, masih menurut Kamil, di Indofarma semua terungkap dan transparan sehingga diketahui penyebab utamanya, sedang di Kimia Farma tidak terungkap.
“Pada RDP Komisi VI DPR dengan Holding BUMN Farmasi tanggal 8 Mei 2025 lalu kan sudah tampak. Dalam laporan keuangan 2023 dan 2024 holding farmasi amblas terus. Tahun 2023 rugi Rp.2,04 triliun dan 2024 rugi lagi Rp.1,16 triliun. Penyumbang terbesar kerugian tersebut datangnya dari Kimia Farma dan kemudian baru Indofarma,” ujar Kamil.
Dirinya meyakini, kerugian tersebut akan terus berulang jika masalah di Kimia Farma belum terbuka seluruhnya, dan upaya perbaikan di Indofarma tidak segera dilakukan.
“Indofarma sudah terjadi efisiensi tapi tidak ada modal kerja untuk menyelesaikan kewajiban pada karyawan dan keberlangsungan usaha. Kimia Farma rugi dan punya hutang yang super besar. Bio Farma juga belum tentu baik-baik saja. Mungkin ini hanya puncaknya saja dari fenomena gunung es, padahal di bawah permukaan segudang masalah bisa meledak setiap saat bagaikan bom waktu”, tegas Kamil.
Terkait masa depan Holding BUMN Farmasi, Kamil berpendapat bahwa hal ini sangat tergantung dari pemegang saham (pemerintah) dan direksinya. Kalau Direksi yang dipilih sudah tepat pasti BUMN Farmasi ini akan terhindar dari krisis, tapi kalau sebaliknya akan makin rusak. Direksi yang dibutuhkan saat ini adalah Direksi yang bisa memimpin memiliki jaringan lembaga pendanaan yang kuat yang bisa membawa BUMN Farmasi selamat dari ancaman bencana krisis.
“Bukan seperti Direksi yang sekarang maupun sebelumnya. Di holding saja ada 8 direksi, dengan banyak konsultan yang direkrut yang saya dengar sudah menghabiskan dana 200 milyar tapi tidak ada keputusan apa pun. Kementerian BUMN harus cari calon Direksi selain yang kuat, integritas, faham bisnis dan punya track record yang mumpuni di industri farmasi,” pungkasnya.(*)