Indonesiadaily.net – Penjualan obat-obatan yang masuk dalam.daftar G (obat keras) masih marak di beberapa daerah. Biasanya, penjualan obat daftar G dengan modus membuka toko obat atau warung kelontong.
Sejauh mana pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), berikut penuturan Kepala BPOM, Taruna Ikrar.
Dijelaskannya, bahwa semua obat harus dikonsumsi sesuai dengan dosis/aturan pakai yang tertera pada kemasan. Konsumsi obat yang tidak sesuai dengan aturan pakai dapat membahayakan kesehatan.
Obat keras memiliki risiko bahaya bagi pasien atau masyarakat jika dikonsumsi tidak sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Peredaran obat yang tidak sesuai dengan ketentuan dan tujuan penggunaan yang seharusnya dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Tidak hanya obat keras, golongan obat bebas maupun obat bebas terbatas pun jika digunakan secara berlebih dapat menimbulkan bahaya.
“Untuk menghindari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan yang salah, diperlukan peran tenaga kesehatan dalam hal ini tenaga kefarmasian, termasuk apoteker, untuk memberikan layanan informasi obat dengan benar,” katanya, Jumat, 6 September 2024.
Taruna Ikrar menegaskan bahwa BPOM melakukan pengawasan obat dari hulu ke hilir, sejak dari sebelum beredar sampai setelah beredar. Di Indonesia, dalam proses produksi dan distribusi obat keras sampai ke pasien yang membutuhkan, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian; Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian; dan Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan.
Selain pengawasan ke sarana pelayanan kefarmasian, pengawasan peredaran obat secara daring juga dilakukan BPOM sesuai Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang diedarkan secara daring sebagaimana telah diubah dengan Peraturan BPOM Nomor 32 Tahun 2020. Pada Pasal 6 ayat 1 peraturan BPOM tersebut, bahwa penyerahan obat secara daring yang dilakukan oleh apotek dapat menggunakan sistem elektronik yang dimiliki oleh apotek dan/atau yang disediakan oleh PSEF.
“Hal ini menegaskan bahwa khusus untuk penjualan obat kepada pasien, hanya dapat dilakukan oleh apotek yang bermitra bersama dengan penyelenggara sistem elektronik farmasi (PSEF) terdaftar di Kementerian Kesehatan. Apotek tidak dapat melakukan peredaran atau penjualan obat secara daring melalui akun media sosial atau marketplace,” tandasnya.
Pada Pasal 8 ayat 1 beleid tersebut, disebutkan bahwa obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib berdasarkan resep yang ditulis secara elektronik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan sanksi bagi pengedar obat G diatur dalam Pasal 435 dan Pasal 436 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 435 berbunyi: “Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000”.
Pasal 436 berbunyi: (1) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tetapi melakukan praktik kefarmasian dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000. (2) Dalam hal terdapat praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan sediaan farmasi berupa obat keras dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.
Penulis : Anto